Tren Penurunan Harga Batubara Berpotensi Tekan Kinerja Perusahaan Batubara



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI)  menilai tren penurunan harga batubara berpotensi kian menekan laju bisnis perusahaan yang beban operasionalnya makin meningkat.

Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengungkapkan, saat ini perusahaan batubara harus menanggung beban operasional yang cukup beragam.

Secara khusus, untuk perusahaan pertambangan batubara pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus Kelanjutan Operasi Produksi (IUPK-KOP) eks PKP2B harus menanggung beban biaya penambangan yang diklaim semakin mahal karena usia tambang yang sudah tua lebih dari 30 tahun.


"Sehingga stripping ratio semakin besar, area penimbunan (disposal area) bagi overburden juga semakin jauh," jelas Hendra kepada Kontan, Senin (29/5).

Tak sampai di situ, pelaku usaha juga dihadapkan pada beban biaya dari implementasi regulasi khususnya terkait pengenaan royalti.

Baca Juga: Terus Tertekan, Intip Proyeksi Harga Batubara hingga Akhir 2023

Hendra mengungkapkan, merujuk pada PP No 15/2022 yang berlaku pada akhir April 2022 lalu penerimaan negara dari pemegang IUPK-KOP eks PKP2B disebut lebih meningkat.

Ia menjelaskan, pemegang IUPK-KOP dikenakan tarif progresif dalam PP No. 15/2022, antara lain untuk Harga Batubara Acuan (HBA) kurang dari US$ 70/ton dikenakan tarif 14%, untuk HBA dikisaran US$ 70 – US$ 80 dikenakan tarif 17%, selanjutnya, untuk HBA sebesar US$ 80- US$ 90 dikenakan tarif 23%.

Sementara itu, untuk HBA dikisaran US$ 90- US$ 100 dikenakan tarif 25% dan terakhir untuk HBA melebihi US$ 100 per ton dikenakan tarif 28%

"Selain itu, perusahaan dikenakan juga pungutan sebesar 10% dari keuntungan bersih masing-masing untuk 4% bagian pemerintah pusat dan 6% bagian pemerintah daerah," imbuh Hendra.

Hendra menambahkan, tekanan beban biaya juga turut dirasakan perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Sebelumnya, tarif PNBP royaltI pemegang IUP ditetapkan berdasarkan kualitas batubara sebesar 3%, 5%, dan 7%.

Besaran royalti ini mengalami penyesuaian merujuk pada PP No 26/2022 yang efektif berlaku pada 15 Agustus 2022. Kehadiran beleid ini menetapkan tarif royalti pemegang IUP juga dikenakan tarif berjenjang dari 5% - 13,5%.

Baca Juga: Pelemahan Harga Batubara Mulai Terbatas

"Sehingga dengan trend harga yang semakin menurun maka beban kewajiban perusahaan akan semakin terasa dampaknya. Apalagi ke depannya perusahaan juga akan dikenakan tarif skema pungut salur dana kompensasi batubara (skema mitra instansi pemerintah MIP)," tegas Hendra.

Hendra melanjutkan, potensi beban ini bisa saja bertambah. Menurutnya, dalam rancangan PP revisi PP Nomor 1 Tahun 2019, penerimaan dana hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) termasuk batubara wajib ditempatkan 30% dari DHE selama 3 bulan di perbankan nasional.

"Kewajiban ini tentu akan berdampak terhadap arus kas perusahaan yang mana sebagian besar dalam komponen mata uang asing (US$) termasuk pembayaran royalty yang harus dibayarkan sebelum pengapalan," pungkas Hendra.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari