Tren suku bunga turun, pasar global bond makin semarak



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jelang akhir tahun, banyak perusahaan yang berbondong-bondong menerbitkan obligasi global atau global bond. Sebut saja, Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) dan juga Adaro Indonesia. 

Kabarnya, PLN bakal menerbitkan global bond sebanyak Rp 21 triliun di akhir 2019. Dana tersebut, rencananya bakal digunakan untuk belanja modal atau capital expenditure (capex). Selanjutnya, TBIG juga berencana menerbitkan global bond berdenominasi dolar AS senilai US$ 650 juta atau sekitar Rp 9,1 triliun. Ada juga Adaro Indonesia yang bakal menerbitkan global bond US$ 750 juta atau setara sekitar Rp 10,51 triliun (kurs Rp 14.000 per dolar AS).

Melihat rencana-rencana tersebut, Senior Vice President Recapital Asset Management Rio Ariansyah mengatakan, sudah sewajarnya pasar obligasi Tanah Air mulai marak di akhir tahun ini. Khususnya, setelah Bank Sentral Indonesia (BI) terus memangkas suku bunga acuan hingga ke level saat ini di 5%. 


"Global bond akan selalu menarik di era suku bunga turun. Apalagi US Treasury untuk tenor 10 tahun juga mengalami tren penurunan. Ini linear (sejalan) dengan suku bunga di Indonesia," jelas Rio, Selasa (5/11).

Baca Juga: Porsi investasi SBN di perusahaan asuransi masih mini

Rio mengatakan, paling baik investor bisa belanja obligasi dilakukan di era suku bunga sedang tinggi-tingginya, kemudian ditahan sampai suku bunga mengalami tren penurunan. Untuk itu, baik investor ritel maupun investor korporasi memiliki strategi yang berbeda sesuai kondisi. 

Misalnya, untuk investor korporasi, tren belanja obligasi umumnya dilakukan secara simultan. Artinya, begitu perusahaan memiliki dana segar atau cash mereka bisa langsung membelanjakannya ke global bond, sesuai dengan arahan investasi. 

Baca Juga: Harga SUN terus naik, penawaran lelang mencapai Rp 68 triliun

Sedangkan untuk investor ritel, strategi investasi global bond yang bisa diterapkan cenderung terbatas. Ini karena, umumnya dana yang dimiliki investor ritel cenderung terbatas. Alhasil pemilihan waktu pembelian dinilai benar-benar krusial. "Jadi, harga obligasi yang sudah naik kencang saat ini rawan koreksi. Biasanya nasabah ritel cenderung wait and see dan masuk lagi saat sudah terjadi koreksi," ujarnya. 

Adapun untuk ke depan, prospek pergerakan global bond masih bergantung pada perkembangan sentimen perang dagang antara AS dengan China. Menurutnya, setiap perkembangan yang terjadi dalam proses negosiasi dua negara ekonomi terbesar di dunia, jelas akan mempengaruhi minat pasar serta prospek global bond.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati