Tren Yield Obligasi Korporasi Rating AAA Turun



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mencatatkan bahwa tren yield obligasi korporasi berperingkat AAA turun. Menurut data Pefindo, obligasi korporasi rating AAA tenor 5 tahun yang sempat menyentuh hampir 8% di kuartal ketiga 2022, turun menjadi 7,1% pada Januari 2023.

Obligasi korporasi rating AAA tenor 10 tahun juga tercatat mengalami tren penurunan. Yield tenor ini sempat menyentuh di atas 8% pada kuartal ketiga 2022. Pada bulan Januari 2023, yield tenor 10 tahun adalah 7,5%.

Hal tersebut ternyata kontradiktif dengan pergerakan yield obligasi korporasi berperingkat BBB. Obligasi korporasi rating BBB tenor 5 tahun yang menyentuh 11% pada kuartal keempat 2022, naik menjadi 11,5% pada Januari 2023.


Sementara, obligasi korporasi rating BBB tenor 10 tahun yang hampir menyentuh 12%, berhasil rebound tipis ke 12,3% pada Januari 2023.

Baca Juga: Simak Proyeksi Besaran Yield Obligasi pada Tahun Ini dari Pefindo

Penurunan yield obligasi rating AAA menandakan bahwa terjadi kenaikan harga. Sementara, naiknya yield obligasi rating BBB menunjukkan adanya penurunan harga di surat utang peringkat itu.

Ekonom Pefindo Suhindarto mengatakan, kontradiksi yang terjadi pada beberapa waktu terakhir itu secara umum disebabkan oleh investor yang memburu surat utang korporasi yang kurang berisiko. Suhindarto menuturkan, para investor cenderung masih melihat adanya potensi risiko dalam jangka pendek.

“Sehingga, para investor memburu obligasi yang berkualitas lebih tinggi. Oleh karena itu, mereka lebih memburu peringkat AAA daripada peringkat BBB,” ujar Suhindarto kepada Kontan.co.id, Senin (13/2).

Baca Juga: Penerbitan Surat Utang Korporasi di Tahun 2023 Bisa Sampai Rp 158,27 Triliun

Menurut Suhindarto, risiko dalam jangka pendek itu tercermin dari data-data ekonomi global dalam beberapa waktu belakangan, seperti pasar tenaga kerja Amerika Serikat (AS) yang masih ketat dan diikuti penurunan tingkat pengangguran.

Data tersebut, kata Suhindarto, menggarisbawahi bahwa masalah inflasi masih belum usai. Ketatnya kondisi ketenagakerjaan yang ada akan berpotensi mendorong inflasi untuk naik. Sehingga, hal itu bisa kembali mempengaruhi stance dari The Fed

“Alih-alih menurunkan suku bunga, pasar tenaga kerja yang ketat bisa mendorong The Fed mempertahankan suku bunga tinggi untuk waktu yang lebih lama,” kata dia.

Baca Juga: Penerbitan Surat Utang Korporasi Tahun 2022 Naik 45%, Terbesar Sejak 2017

Suhindarto mengatakan, situasi itu akan mempengaruhi persepsi investor dan membuat mereka cenderung berjaga-jaga dengan membeli obligasi yang berkualitas lebih tinggi.

Selain itu, faktor risiko juga datang dari tensi geopolitik yang masih memanas. Selain dari perang Ukraina, terbaru, ada tensi tinggi antara China dan Amerika Serikat (AS).

“Memanaskan tensi antara AS dan China itu disebabkan oleh penembakan jatuh balon udara China di AS dan pernyataan Jenderal AS yang memprediksi Negeri Paman Sam akan berperang melawan China,” papar Suhindarto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati