Trisakti dan Nawacita ajukan perubahan gugatan



JAKARTA. Kuasa hukum Trisakti dan Nawacita mengajukan perubahan gugatan kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait pembatalan perizinan ekspor dan pertambangan terhadap Presiden Joko Widodo dan PT Freeport Indonesia. Perubahan tersebut berupa penambahan tiga yurisprudensi baru.

Adapun ketiga yurisprudensi itu membahas tentang gugatan warga negara alias citizen law suit (CLS). Sekedar informasi, pihak Trisakti dan Nawacita terdiri dari Arief Poyuono, Haris Rusly, Kisman Latumakilata, dan Iwan Sumule.

Berdasarkan berkas yang diterima KONTAN, penambahan yurisprudensi pertama itu yakni, perkara gugatan atas nama Munir atas penelantaran negara terhadap TKI migran yang dideportasikan di Nunukan yang diputus pada 8 Desember 2003. Dalam kasus tersebut majelis menyatakan CLS dapat diperiksa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.


Kedua, mengenai gugatan penyelenggaraan jaminan sosial pada 2010. Kemudian yang ketiga, mengenai pemerintah yang tidak memperhatikan kesejahteraan pembantu rumah tangga pada 2011.

"Semua Warga Negara Indonesia (WNI) yang mengerti hukum maupun tidak, bisa mengajukan gugatan kepada pemerintah atau institusinya yang terbukti telah melakukan pelanggaran," kata M. Said, kuasa hukum Trisakti dan Nawacita seusai persidangan, Kamis (28/5).

Said lebih lanjut menjelaskan, terlepas dari adanya pro kontra atas penyebutan CLS atau actio popularis atau vexatious suit, pengadilan harus bisa menerima gugatan tersebut. Pasalnya, ia mengklaim sebutan CLS sudah bisa dipakai oleh seluruh masyarakat.

Sebelum pihaknya mengajukan perubahan gugatan, ia mengaku jika proses mediasi selama 40 hari itu tidak membuahkan perdamaian. Kubu pemerintah maupun Freeport masih mempertahankan kebijakan terhadap ekspor konsentrat.

Perkara dengan nomor 50/PDT.G/2015/PN.Jkt.Pst ini didaftarkan sejak 2 Februari 2015. Presiden Jokowi digugat atas Perbuatan Melawan Hukum karena telah melakukan Memorandum of Understanding yang isinya memberikan izin ekspor kepada Freeport meskipun belum memiliki smelter di Indonesia.

Tindakan tersebut telah melanggar pasal 170 Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dinyatakan bahwa 5 tahun setelah UU disahkan seluruh perusahaan tambang wajib membangun smelter dan dilarang mengekspor konsentrat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie