JAKARTA. Kemenangan Donald Trump pada pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) mengguncang pasar finansial global. Tak terkecuali pasar obligasi Indonesia. Lalu, bagaimana sentimen Trump bisa mempengaruhi pasar obligasi Indonesia? Menurut Ezra Nazula, head of fixed income Manulife Asset Management Indonesia, Trump dalam kampanyenya berulang kali menyuarakan
platform kebijakan yang bersifat business friendly untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Sebut saja pemangkasan pajak dan peningkatan belanja infrastruktur.
"Dampaknya, investor beranggapan akan terjadi peningkatan inflasi lebih cepat dari ekspektasi sebelumnya, sehingga 'memaksa' The Fed untuk lebih agresif dalam menaikkan suku bunga di tahun depan. Investor merespon dengan melepas kepemilikan surat utang AS bertenor 10 tahun, yang mengakibatkan peningkatan imbal hasil dari level 1,85% menjadi 2,21%," papar Ezra dalam risetnya seperti yang dikutip dari situs resmi www.reksadana-manulife.com. Ezra menjelaskan, gejolak yang terjadi pasca kemenangan Trump hanya bersifat temporer dan merupakan dinamika yang harus dikelola dengan cermat. Dia mengakui, dalam jangka pendek, tekanan terhadap obligasi Indonesia masih akan terasa. Namun, ada beberapa faktor yang diharapkan dapat menopang pasar obligasi domestik dan menimbulkan peluang investasi menarik pada saat sentimen risk off investor mereda.
Pertama, peningkatan imbal hasil
US Treasury Note secara teoritis akan meningkatkan imbal hasil obligasi global. "Kami memprediksi, imbal hasil
US Treasury Note tenor 10 tahun dapat mencapai di kisaran rata-rata 2,25% dan untuk selanjutnya peningkatan akan terbatas," jelasnya. Dia menyontohkan, jika diasumsikan
spread antara
yield US Treasury 10 tahun dengan
yield SUN tenor sama rata-rata 500 bps, maka dalam jangka panjang imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia akan bergerak ke level 7,25%, lebih rendah dari posisi imbal hasil saat ini yang mencapai 7,9%.
Kedua, dari sisi domestik, secara temporer penguatan USD secara global yang memicu
outflow dari negara berkembang -termasuk Indonesia- akan mengancam stabilitas nilai tukar rupiah. Kondisi ini akan membatasi peluang pemangkasan suku bunga lebih lanjut. "Namun, jika nilai tukar sudah dapat dikelola melalui bauran kebijakan, sepertinya Bank Indonesia dapat secara gradual kembali melanjutkan kebijakan moneter longgar untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang saat ini baru berada di dalam fase awal pemulihan," paparnya.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi global masih diprediksi tumbuh dengan ritme lambat sehingga mayoritas bank sentral global akan bersikap
dovish. "Seperti yang kita alami di 2013, aksi global
yield hunting diharapkan kembali berlanjut. Begitu pula di 2017. Indonesia masih akan menjadi salah satu tujuan utama investor," urai Ezra.
Keempat, BI sebagai
buyer of the last resort, akan hadir di pasar jika terjadi ancaman terhadap stabilitas nilai tukar maupun pasar obligasi.
Kelima, kewajiban industri asuransi dan dana pensiun untuk meningkatkan porsi investasi minimum 20%-30% pada SUN akan meningkatkan kepemilikan investor domestik. "Ini juga sekaligus menjadi
buffer yang menjaga keseimbangan
supply-demand di pasar obligasi domestik," paparnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie