Trump Sebut Pelaku Penembakan Massal Sakit Mental



KONTAN.CO.ID - DW. Aksi penembakan massal di El Paso, Texas, Sabtu pagi (3/8), menewaskan 20 orang dan mengguncang AS. Belum hilang syok akibat aksi biadab itu, penembakan massal kembali terjadi di Dayton, Ohio, menewaskan sembilan orang. Lebih 50 orang luka-luka dalam kedua insiden.

Masih belum jelas apa motif penembakan di Dayton. Pelakunya tewas ditembak polisi. Menurut laporan media, di antara korban ada saudara perempuan pelaku. Sedangkan kasus penembakan di El Paso sekitar 13 jam sebelumnya tampaknya memiliki latar belakang kebencian rasisme. Pelakunya, warga kulit Patrick Crusius, 21 tahun, menyerahkan diri pada polisi setelah terkepung.

Polisi mengatakan, Patrick Crusius diyakini mengunggah sebuah "manifesto" di media sosial, beberapa saat sebelum melakukan penembakan membabi-buta di pusat perbelanjaan Walmart, yang banyak dikunjungi warga Meksiko. El Paso memang terletak tidak jauh dari perbatasan ke Meksiko. Manifesto itu berisi pernyataan kebencian terhadap warga asing.


Trump dianggap turut mengobarkan kebencian rasisme

Politisi oposisi dari kubu Demokrat mengecam Presiden AS Donald Trump yang selama ini menyerang kaum imigran dan disebut-sebut turut mengobarkan kebencian rasisme.

Kelompok hak asasi Southern Poverty Law Center mengecam keras sikap Trump dan menyatakan: "Berpura-pura bahwa pemerintahannya dan retorika penuh kebencian tidak berperan dalam jenis kekerasan yang terjadi kemarin di El Paso.. menunjukkan sikap tidak bertanggung jawab yang paling buruk." Kelompok itu menunjuk pada kampanye Trump yang menyebut pada pendatang dari Meksiko adalah pemerkosa dan penjual narkoba.

Senator populer Demokrat Bernie Sanders menulis di Twitter: "Tuan Presiden, hentikan retorika rasis dan antiimigran Anda. Bahasa Anda menciptakan iklim yang menyemangati para ekstremis untuk (melakukan) kekerasan."

"Sakit mental"

Namun Trump menampik motivasi rasisme dalam aksi penembakan di El Paso. Dia menyebut pelaku penembakan "benar-benar sakit mental secara serius." Dia juga mengakui bahwa aksi penembakan terus terjadi "selama bertahun-tahun" dan "kita harus menghentikan ini."

Namun selama ini, Presiden Donald Trump dan Partai Republik menolak pengetatan aturan kepemilikan senjata api, yang sejak lama dituntut kubu oposisi. Trump khawatir kehilangan dukungan dari lobi kelompok prosenjata api yang sangat berpengaruh, National Rifle Association of America (NRA).

Donald Trump juga dikritik karena tidak muncul ke publik setelah aksi penembakan di El Paso. Dia memang menulis di Twitter namun tetap tidak memberi pernyataan secara langsung dan malah menghabiskan waktunya di resor Golf miliknya di New Jersey. Barulah pada Minggu malam (4/8), ketika bersiap-siap terbang kembali ke Washington, Trump memberi pernyataan kepada media.

Harian New York Times dalam tajuknya menulis: "Seandainya penyerang.. seorang ekstremis Islam, maka pemerintah AS tentu akan mengerahkan segala sumber daya dan memobilisasi mitra-mitra internasional. Semua akan bekerja tanpa henti, untuk mencegah para teroris mendapat kemungkinan menyerang dengan senjata berat dan menyebarkan ideologi mereka… Dunia, terutama negara-nebara Barat, punya satu masalah: kelompok nasionalis. Masalah ini terlalu lama dibiarkan, dianggap remeh dan dimaafkan."

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti