Ancaman pemanasan global alias
global warming kian nyata. Dan, bencana kekeringan sebagai salah satu dampak suhu bumi yang semakin panas tersebut mulai mengancam wilayah Indonesia. Nah, berangkat dari ancaman pemanasan global itu, Komunitas Tanam untuk Kehidupan (TUK) Salatiga lahir tahun 2006 lalu. Kata
tuk sendiri dalam bahasa Jawa berarti mata air. Penggagas komunitas ini adalah sejumlah seniman asal Salatiga, Jawa Tengah, misalnya, Tikun, Roni W., dan Ari Sutondo. Eric S. Darmawan, Ketua Komunitas TUK Salatiga, mengatakan, komunitasnya menjadi wadah bagi siapa saja yang cinta lingkungan untuk melakukan aktivitas nyata menyelamatkan serta melestarikan lingkungan. “Kami melaksanakan kegiatan kampanye dengan media seni dan budaya,” kata dia.
Tentu, bukan tanpa alasan komunitas ini menggunakan media seni dan budaya dalam kegiatan kampanye lingkungannya. “Kami berharap orang-orang lebih memahami dan tertarik dengan kegiatan kampanye kami, sehingga akan lebih banyak orang yang peduli sama lingkungan,” ujar Eric. Tak jauh-jauh, komunitas ini menggelar semua kegiatan kampanye lingkungannya di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang yang bertetangga dengan Salatiga. Soalnya, isu yang dibawa Komunitas TUK Salatiga ialah kelestarian mata air di Salatiga, dengan melakukan konservasi di Gunung Merbabu yang masuk wilayah Semarang sebagai daerah tangkapan air hujan. Itu sebabnya, komunitas ini mendirikan pusat pembibitan di area Gunung Merbabu, dengan menggandeng Karang Taruna Desa Tajuk. “Kami kampanyekan kegiatan tersebut di Salatiga dan Semarang supaya masyarakat Salatiga dan Semarang ikut ambil bagian dalam aksi nyata pelestarian lingkungan tersebut,” ungkap Eric yang sehari-hari bekerja di sebuah
event organizer (EO). Kegiatan Komunitas TUK Salatiga terbagi dalam tiga divisi.
Pertama, Divisi Pengabdian Masyarakat berupa kegiatan sosial dan menjalin hubungan dengan komunitas lain. Kegiatan sosial, contohnya, melakukan penanaman pohon dan pendampingan masyarakat.
Kedua, Divisi Kampanye dan Publikasi, seperti mengadakan festival seni dan budaya. Ambil contoh,
Festival Mata Air yang tahun lalu digelar di bekas Terminal Soka, Salatiga. Festival yang mengangkat tema
Revolusi untuk Lingkungan ini bertujuan mengkampanyekan lingkungan dengan media seni dan budaya untuk memasyarakatkan gaya hidup ramah lingkungan. Di festival ini ada bermacam acara, seperti
workshop, instalasi seni, pameran foto, dan pertunjukan teater.
Ketiga, Divisi Merchandise yaitu membuat produk daur ulang seperti mendaur ulang sampah plastik dan kertas menjadi tas, dompet, gantungan kunci, pin, dan magnet. Selain itu, mereka juga memproduksi sepatu dan sandal dari enceng gondok. Komunitas ini memberi merek 4Life untuk produk-produk daur ulangnya dengan slogan Green, Creative, Smart. Titi Permata, Penanggung Jawab Komunitas TUK Salatiga, bilang, untuk membuat sepatu dan sandal, komunitasnya menjaring beberapa perajin enceng gondok. Bahan bakunya diambil dari Rawa Pening, Salatiga. “Dengan membuat produk daur ulang, kami sedang berusaha belajar aspek
entrepreunership-nya juga,” jelas Titi. Beragam latar belakang Menurut Eric, hasil penjualan produk daur ulang tersebut untuk membantu pembiayaan kegiatan Komunitas TUK Salatiga. Tapi, nilainya masih sangat kecil, keuntungan bersih baru sekitar Rp 500.000 sebulan. Selain dari hasil penjualan produk daur ulang, sumber dana kegiatan komunitas ini berasal dari iuran suka rela anggota dan sponsor seperti GEF SGP Indonesia, Pemerintah Kota Salatiga, dan Kementerian Lingkungan Hidup. Dalam kegiatan kampanyenya, Komunitas TUK Salatiga juga mengajak komunitas lain, seperti Australian Volunteers International (AVI), Taring Padi dari Yogyakarta, Komunitas Anak Seribu Pulau dari Blora, dan seniman-seniman dari Jakarta. Saat ini, anggota komunitas mencapai ratusan orang yang terdiri dari anggota aktif dan relawan. Anggota aktif maksudnya anggota yang rutin mengikuti rapat setiap dua minggu sekali. “Jika memang mau menjadi anggota komunitas tapi tidak bisa mengikuti rapat rutin dapat mendaftarkan diri sebagai relawan,” kata Eric. Kebanyakan relawan Komunitas TUK Salatiga berasal dari Salatiga dan sekitarnya. Tapi, ada juga yang dari manca negara semisal Australia dan Inggris. Mereka dari latar belakang yang beragam mulai seniman, pelajar, mahasiswa, anak jalanan, karyawan swasta, pegawai negeri sipil, pelaku usaha, ibu rumahtangga, hingga petani. Ardian Teny, salah satunya. Pria 26 tahun ini bergabung dengan Komunitas TUK Salatiga akhir 2011 lalu dan masuk di Divisi Kampanye dan Publikasi sesuai pekerjaannya. “Komunitas ini menjadi wadah untuk saya berkreasi dan menambah teman yang cinta lingkungan,” ujar desainer grafis ini. Tak hanya bisa bertindak nyata menjaga lingkungan, Meilana yang menjadi relawan Komunitas TUK Salatiga awal 2012 juga bisa belajar seni dan menjadi wirausahawan. Komunitas ini juga berbeda dengan komunitas lain. Menurut Meilana yang masih kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Satya Wacana ini, ia tetap dapat mengikuti kegiatan komunitas yang disesuaikan dengan waktu kuliah. Alhasil, wanita berumur 19 tahun ini juga bisa menyalurkan idenya untuk komunitas.
Lain lagi alasan Suryo. Pelajar SMA Muhammadiyah Plus Salatiga ini tertarik menjadi anggota Komunitas TUK Salatiga setelah melihat salah satu anggota komunitas yang cacat fisik karena kecelakaan tetap semangat mengikuti kegiatan. “Di komunitas ini saya juga bisa mengasah bakat seni saya karena bisa belajar musik, teater, dan melukis,” kata Suryo. Sedang Soemingan, petani sayur mayur di lereng Merbabu, bergabung dengan komunitas ini lima tahun lalu karena merasa satu tujuan dengan Komunitas TUK Salatiga, yakni mencintai lingkungan. “Komunitas ini juga menjaga mata air di lereng Merbabu yang bisa digunakan untuk pertanian dan kebutuhan sehari-hari masyarakat,” ujar lelaki 55 tahun ini. Anda tertarik bergabung? Gampang. Untuk jadi anggota Anda cuma harus sadar dan peduli lingkungan saja. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Catur Ari