KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintahan baru yang bakal dijalankan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka setidaknya harus memiliki anggaran negara yang kuat untuk membayar utang negara yang semakin menumpuk. Pasalnya, utang pemerintah terus mengalami kenaikan sejak tahun 2015. Bahkan jumlahnya semakin besar, terutama dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Maklum, SBN menjadi komponen dominan dalam utang pemerintah. Bahkan, sejak 2001 hingga 2023, porsi SBN sebagai sumber pendanaan pemerintah semakin besar. Pada 2001 misalnya, sebanyak 51,9% porsi utang pemerintah berasal dari SBN. Sementara pada tahun 2023, porsi utang pemerintah yang berasal dari SBN mencapai 88,6%.
Celakanya, pada pemerintahan baru ini akan menjadi tahun-tahun dengan pembayaran SBN tertinggi. Puncaknya adalah pada tahun 2025, di mana pemerintah harus membayar utang jatuh tempo sebesar Rp 704 triliun. Ini menjadi jumlah pembayaran utang jatuh tempo tertinggi dalam 40 tahun ke depan. Baca Juga:
Prabowo Dapat Warisan Utang Pemerintahan Jokowi Mencapai Rp 9.000 Triliun Berdasarkan riset KONTAN, sebanyak 92,7% dari total SBN yang jatuh tempo pada tahun depan diterbitkan setelah tahun 2014, yakni setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat. Sementara pada tahun 2026 utang jatuh tempo yang harus dibayarkan Prabowo-Gibran sebesar Rp 674 triliun, pada tahun 2027 Rp 651 triliun dan tahun 2028 sebesar Rp 601 triliun. Tak heran, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyoroti besarnya utang jatuh tempo yang harus dibayarkan oleh pemerintah selanjutnya yakni Prabowo-Gibran. Fraksi PKS menyebut, utang jatuh tempo pemerintah pusat mencapai Rp 704 triliun pada tahun 2025. Bahkan, hingga 2028 masih ada sekitar Rp 2.600 triliun utang jatuh tempo yang musti dibayar pemerintah. "Fraksi PKS mengingatkan bahwa pemerintah masih menyimpan pekerjaan rumah yang cukup besar," ujar Fraksi PKS yang dibacakan Muhammad Nasir Djamil di Paripurna, belum lama ini. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa utang jatuh tempo yang relatif besar pada tahun depan belum memasukkan potensi penambahan utang baru yang akan muncul terutama dalam beberapa tahun ke depan imbas dari rencana kebijakan pemerintahan baru.
Baca Juga: Kemenkeu Lelang 79 Aset Sitaan Pengemplang Pajak Senilai Rp 14,88 Miliar Oleh karena itu, peningkatan utang jatuh tempo ini perlu menjadi faktor lain dari pertimbangan pemerintah ketika menyusun rancangan belanja terutama dalam tiga hingga lima tahun ke depan. "Karena tentu dengan jatuh tempo utang yang besar ini berpotensi akan mendorong pemerintah untuk menerbitkan surat utang kembali dalam rangka membayar jatuh utang tempo tersebut," ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Minggu (2/6). Pasalnya, Yusuf bilang, pemerintah belum mampu sepenuhnya untuk mendanai utang jatuh tempo dari pembiayaan utama, baik dari pos pajak maupun pos non pajak. Di sisi lain, ketika pemerintahan harus menerbitkan surat utang baru, maka potensi penerbitan dengan ongkos pendanaan yang lebih tinggi masih berpeluang akan terjadi mengingat tren dari inflasi masih bisa meningkat seiring dengan harga komoditas yang sangat berfluktuasi dalam jangka pendek. Selain itu, kata Dia, dalam konteks mendanai utang jatuh tempo tersebut maka keberlanjutan reformasi perpajakan akan menjadi kunci dalam proses tersebut. "Mengingat jatuh tempo utang akan terjadi beriringan dengan kebutuhan belanja yang juga relatif tidak kecil di pemerintahan berikutnya," katanya.
Baca Juga: Per April 2024, Utang Pemerintah Tercatat Sebesar Rp 8.338,48 Triliun Untuk diketahui, posisi utang pemerintah per akhir April 2024 juga mengalami peningkatan. Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyarankan pemerintahan yang baru untuk bisa meminimalkan utang. Apalagi, kata Dia, saat ini 90% utang bersumber dari Surat Utang Negara (SUN) yang mahal. "Berutang itu mudah, karena yang dilakukan pemerintah cukup menerbitkan SUN. Ketika gak laku, bunganya dinaikkan. Tentunya ini sesuatu yang harus dihindari di masa mendatang," terang Wijayanto dalam Diskusi Publik INDEF. Ia juga menyarankan pemerintah baru untuk memperbanyak porsi utang program berjangka panjang dan berbunga rendah. Misalnya saja pinjaman dari Lembaga International seperti World Bank, Asian Development Bank, maupun Islamic Development Bank.
"Karena utang-utang dari lembaga itu sebenarnya banyak yang jangkanya panjang dan jauh lebih murah," pungkasnya. Dirinya juga mengkhawatirkan soal pembayaran bunga utang yang terus meningkat bahkan porsinya sudah 14% dari belanja APBN. "Posisinya sangat tinggi, bahkan tahun ini diprediksikan untuk membayar utang saja nilainya dua kali lebih tinggi dari capital expenditure," kata Wijayanto. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari