JAKARTA. Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Mardiasmo menyatakan, tunggakan pajak perusahaan minyak dan gas (migas) karena perbedaan persepsi. Dia mengatakan, perbedaan persepi ini akibat dua hal.Pertama, karena adanya tarif pajak yang lebih rendah dalam perjanjian pajak (tax treaty) dengan negara asal kontraktor migas bila dibandingkan dengan pajak bunga deviden dan royalti yang ada di undang-undang Migas.Menurutnya, tarif pajak dalam tax treaty lebih rendah ketimbang dalam UU Migas. Sebagai contoh, tarif pajak dalam tax treaty antara pemerintah dengan Inggris yang hanya 10% atau dengan Malaysia yang sebesar 12,5%. Sementara, tarif pajak dalam UU Migas sebesar 20%.Mardiasmo mengaku sudah mengadukan masalah perbedaan ini ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Anggaran. "Ditjen Anggaran sudah kirim surat ke Ditjen Pajak," katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR, Rabu (20/7).Masalah kedua adalah soal royalti. Menurut Mardiasmo, para kontraktor mengatakan, pembayaran royalti sudah dimasukkan dalam perhitungan penghasilan kena pajak. Dengan demikian, perusahaan migas asing itu merasa tidak perlu membayar royalti lagi. Padahal, dia bilang royalti tersebut tetap harus diperhitungkan.Mardiasmo mengaku perbedaan persepsi dengan kontraktor asing ini sudah ada sebelum 2004 silam. Hanya, dia bilang, yang masih bermasalah dengan Malaysia dan Inggris. Sebelumnya, KPK mengungkapkan ada 14 kontraktor migas yang belum membayar pajak. Nilainya mencapai Rp 1,6 triliun.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Tunggakan pajak migas terjadi karena perbedaan persepsi
JAKARTA. Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Mardiasmo menyatakan, tunggakan pajak perusahaan minyak dan gas (migas) karena perbedaan persepsi. Dia mengatakan, perbedaan persepi ini akibat dua hal.Pertama, karena adanya tarif pajak yang lebih rendah dalam perjanjian pajak (tax treaty) dengan negara asal kontraktor migas bila dibandingkan dengan pajak bunga deviden dan royalti yang ada di undang-undang Migas.Menurutnya, tarif pajak dalam tax treaty lebih rendah ketimbang dalam UU Migas. Sebagai contoh, tarif pajak dalam tax treaty antara pemerintah dengan Inggris yang hanya 10% atau dengan Malaysia yang sebesar 12,5%. Sementara, tarif pajak dalam UU Migas sebesar 20%.Mardiasmo mengaku sudah mengadukan masalah perbedaan ini ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Anggaran. "Ditjen Anggaran sudah kirim surat ke Ditjen Pajak," katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR, Rabu (20/7).Masalah kedua adalah soal royalti. Menurut Mardiasmo, para kontraktor mengatakan, pembayaran royalti sudah dimasukkan dalam perhitungan penghasilan kena pajak. Dengan demikian, perusahaan migas asing itu merasa tidak perlu membayar royalti lagi. Padahal, dia bilang royalti tersebut tetap harus diperhitungkan.Mardiasmo mengaku perbedaan persepsi dengan kontraktor asing ini sudah ada sebelum 2004 silam. Hanya, dia bilang, yang masih bermasalah dengan Malaysia dan Inggris. Sebelumnya, KPK mengungkapkan ada 14 kontraktor migas yang belum membayar pajak. Nilainya mencapai Rp 1,6 triliun.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News