Tunggu AEoI, EoI on Request bisa dioptimalkan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) mengeluarkan aturan baru soal pertukaran data pajak lintas negara yakni Perdirjen Nomor 28 Tahun 2017.

Isi dari Perdirjen ini lebih ke pengaturan prosedur pertukaran informasi berdasarkan permintaan (EoI on Request) yang saat ini sudah berjalan. Hal ini berbeda dengan AEoI yang akan berjalan pada April 2018 untuk nasabah domestik dan September 2018 untuk internasional.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, sejauh ini performa dari EoI on Request belum terlalu terdengar, “Namun kalau melihat gebrakannya belum terasa dampaknya,” kata Yustinus kepada KONTAN, Kamis (11/1).


Oleh karena itu, ia berharap, sambil menunggu September, yakni pelaksanaan AEoI secara internasional, Ditjen Pajak bisa manfaatkan ini EoI on Request secara optimal. Minimal terhadap wajib pajak (WP) yang diindikasikan melakukan aggressive tax planning atau tindak pidana perpajakan.

“Keseriusan dan tindak lanjut yang jelas dan konsisten saya kira penting untuk sinyal ke publik bahwa otoritas melakukan pengawasan,” ujarnya.

Agar implementasi EoI on Request tersebut berjalan efektif dan sesuai standar internasional, saat ini Indonesia sudah dan sedang menjalani peer review assessment di mana Indonesia sudah menjawab semua kuesioner dari tim asesor dan on site visit oleh assessor pada bulan November 2017.

Kepala Subdit Direktorat Perpajakan Internasional Leli Listianawati mengatakan, Perdirjen Nomor 28 Tahun 2017 ini dibuat bukan hanya dalam rangka penyesuaian dengan hal-hal yang baru terkait pertukaran informasi berdasarkan permintaan (EoI on Request), melainkan juga dilaporkan dalam asesmen EoI on Request yang sedang dan sudah dijalani oleh Indonesia.

“Sebenarnya ini untuk tata cara EoI Request, tapi kami juga laporkan ke asesor,” kata Leli.

Asal tahu saja, setiap negara yang bersepakat dalam perjanjian AEoI wajib menyerahkan data informasi pajak kepada negara lainnya, tetapi jenis informasinya sangat terbatas. Misalnya, bagi Indonesia hanya informasi keuangan dengan nilai di atas US$ 250.000 saja yang akan dipertukarkan secara otomatis.

Maka, EoI on Request berlaku jika ada negara yang meminta informasi keuangan dari warga negaranya, tetapi nilainya di bawah ketentuan itu maka Ditjen Pajak bisa mendapatkannya dengan mengajukan permintaan.

Dengan catatan-catatan yang ada dalam beleid baru ini, di antaranya data yang diminta harus terkait dengan wajib pajak yang diduga melakukan transaksi atau kegiatan penghindaran pajak, pengelakan pajak, penyalahgunaan tax treaty dengan cara menggunakan struktur atau skema tertentu, dan belum memenuhi kewajiban perpajakannya

Adapun Wajib Pajak yang datanya dimintakan tersebut harus dalam kondisi sedang dalam pengawasan kepatuhan perpajakan, pengembangan dan analisis atas informasi, pengembangan dan analisis atas informasi, data, laporan dan pengaduan, pemeriksaan, penagihan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Selain itu, Wajib Pajak yang sedang dalam proses hukum perpajakan juga bisa dimintakan datanya ke Negara/yuridiksi lain.

Sebelum mengusulkan untuk diminta datanya, DJP terlebih dahulu harus mencari informasi mengenai kondisi wajib pajak yang sebenarnya. Misalnya, dengan melihatnya di data perpajakan Ditjen Pajak, mencari informasi dari eksternal, mengundang wajib pajak, hingga mendatangi wajib pajak.

Informasi yang dimintakan juga harus didasari kecurigaan dan dugaan yang memadai, tidak sepkulasi, tidak berhubungan dengan rahasia negara, kebijakan publik, kedaulatan, keamanan negara atau kepentingan nasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto