KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) memastikan pihaknya siap melakukan pembayaran utang rafaksi minyak goreng kepada pelaku usaha. Kepala Divisi BPDPKS, Achmad Maulizal Sutawijaya mengatakan saat ini pihaknya tinggal menunggu seluruh dokumen hasil verifikasi PT Sucofindo yang masih dipegang Kementerian Perdagangan untuk diserahkan kepada BPDPKS. "Hasil verifikasi Sucofindo ada yang belum disampaikan oleh Kemendag ke BPDPKS," jelas Maulizal pada Kontan.co.id, Selasa (26/3).
Maulizal menegaskan bahwa selama ini pihaknya berkomitmen untuk melakukan pembayaran. Hanya, pembayaran harus dilakukan sesuai mekanisme dan dibutuhkan kelengkapan hasil verifikasi. "Kalau alokasi dananya sudah tersedia di BPDPKS," pungkas Maulizal.
Baca Juga: Dua Tahun Menunggak, Luhut Pastikan Penyelesaian Utang Rafaksi Minyak Goreng Dalam pernyataan sebelumnya, BPDPKS telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 7,2 triliun untuk melunasi utang program pengadaan minyak goreng satu harga ini. Diketahui, pembayaran utang rafaksi ini akhirnya mendapat titik terang setelah dua tahun tak ada kejelasan. Menteri koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan pemerintah telah memutuskan akan membayarkan utang rafaksi sebesar Rp 474,8 miliar dalam waktu dekat sesuai dengan hasil verifikasi PT Sucofindo. "Jadi BPDPKS akan segera membayarkan sejumlah Rp 474,8 miliar kepada pedagang yang dulu membantu masalah kelangkaan minyak goreng," kata Luhut dalam rakor tingkat Menteri, Senin (25/3). Kilas balik, utang rafaksi minyak goreng ini dimulai sejak tahun 2022. Saat itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan minyak goreng satu harga melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 3 Tahun 2022.
Baca Juga: Sengkarut Utang Rafaksi Minyak Goreng yang Tak Kunjung Beres Aturan tersebut menyatakan bahwa pemerintah menugaskan para pengusaha minyak goreng menjual seharga Rp 14.000 per liter, sementara harga minyak goreng di pasaran kala itu berkisar di Rp 17.000 hingga Rp 20.000 per liter. Selisih harga atau rafaksi dalam peraturan tersebut sudah seharusnya dibayarkan penuh oleh pemerintah. Hanya saja, aturan tersebut telah dihapuskan sehingga memunculkan ketidakjelasan pembayaran utang. Hal ini memicu berbagai spekulasi negatif dari para peritel dan juga masyarakat umum. Bahkan peritel sempat berniat menggugat pemerintah agar utang tersebut segera dibayar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli