Tupperware Batalkan Lelang, Setuju Diambil Alih Pemberi Pinjaman



KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Tupperware Brands, yang tengah menghadapi kebangkrutan, sepakat pada hari Selasa (23/10) untuk menjual bisnisnya kepada sekelompok pemberi pinjaman (kreditur) dengan kesepakatan senilai US$23,5 juta dalam bentuk tunai dan lebih dari US$63 juta dalam penghapusan utang.

Kesepakatan ini membatalkan rencana sebelumnya untuk melelang asetnya di pasar terbuka.

Baca Juga: Sejarah Singkat Tupperware yang Hampir Bangkrut, Lahir untuk Cegah Kelaparan


Perusahaan yang terkenal dengan produk penyimpanan makanan dan peralatan dapur ini mengumumkan kesepakatan tersebut di sidang pengadilan kebangkrutan di Wilmington, Delaware.

Hakim Pengadilan Kebangkrutan Amerika Serikat (AS) Brendan Shannon menyatakan akan segera menjadwalkan sidang pengadilan terpisah untuk mempertimbangkan persetujuan penjualan, yang dinilai sebagai hasil terbaik mengingat "kondisi yang sulit dan menantang" yang dihadapi perusahaan.

Tupperware, yang berbasis di Orlando, Florida mengajukan perlindungan kebangkrutan bulan lalu dengan utang sebesar US$818 juta dan rencana untuk mencari pembeli dalam waktu 30 hari.

Baca Juga: Bisnis Makin Lesu, Tupperware Ajukan Kebangkrutan

Namun, sekelompok pemberi pinjaman menentang rencana penjualan perusahaan, menginginkan asetnya untuk mereka sendiri.

Kesepakatan baru ini memungkinkan para pemberi pinjaman untuk membeli nama merek dan operasi Tupperware di beberapa pasar utama.

Menurut pengacara Tupperware Spencer Winters kesepakatan ini juga memberikan ruang bagi pemberi pinjaman untuk menggunakan penghapusan utang sebagai bagian dari harga pembelian, sambil tetap menyediakan dana tunai yang bisa digunakan Tupperware untuk melunasi utang lainnya.

Para pemberi pinjaman yang diperkirakan akan mengakuisisi Tupperware termasuk Alden Global Capital, Stonehill Institutional Partners, dan trading desk Bank of America.

Baca Juga: Tupperware Mengaku Tetap Beroperasi Selama Proses Kebangkrutan

Tupperware menjadi populer di tahun 1950-an melalui "Tupperware parties" yang diadakan oleh para perempuan sebagai sarana menjual produk sambil mencari pemberdayaan dan kemandirian.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan terlalu bergantung pada perwakilan penjualan independen dan gagal memanfaatkan peluang untuk menjual produk secara daring atau melalui toko ritel, yang menyebabkan penurunan penjualan selama bertahun-tahun.

Editor: Yudho Winarto