Turis-Turis Asal China Semakin Miskin



KONTAN.CO.ID - HONG KONG. Perlambatan ekonomi telah mengubah gaya hidup warga China saat melakukan liburan paska pandemi Covid-19. Tampaknya turis-turis asal Negara Panda itu sudah semakin miskin. Hal itu terlihat postingan di media sosial tak lagi banyak memamerkan barang-barang mewah saat berpergian. 

Kondisi ini tak tentu tak menguntungkan bagi negara-negara pariwisata yang berharap dari belanja para turis asing, termasuk dari wisatawan China. 

Menurut laporan Bloomberg dilansir Jumat (13/10), turis China daratan biasanya memamerkan tas Hermes saat berlibur ke Hong Kong di sosial media mereka. Namun, sekarang jenis postingan yang populer justru foto memegang tas bungkus McDonald's di jalanan sepi di kota distrik menengah Hong Kong bernama MacDonnell Road.


Alih-alih menghabiskan banyak uang untuk membeli barang-barang mewah, turis China kini justru memilih melakukan aktivitas yang lebih sederhana. 

Dari postingan para influencer di Xiaohongshu, aplikasi mirip Instagram, banyak mengambil foto selfie di jalan-jala dengan nama unit atau kompleks perumaha padat. Adapula yang berposes di luar kantor polisi yang sering dipertontonkan dalam film-film klasik Hong Kong. 

Baca Juga: Kunjungan Turis China Tersendat, Devisa Pariwisata Tak Akan Maksimal

Perubahan kebiasaan saat berlibur ini lantaran anak-anak muda pengguna media sosial sudah mulai menyesuaikan pola konsumsi mereka di tengah perlemahan ekonomi China. Apalagi, tingkat pengangguan kalangan muda di negara itu juga sedang tinggi-tingginya saat ini. 

Konsumen di seluruh Hong Kong melakukan perjalanan dan membelanjakan uangnya lebih sedikit dari yang diharapkan selama liburan Golden Week baru-baru ini. 

Perubahan kebiasaan turis China darata tersebut melemahkan harapan Hong Kong untuk membangkitkan ekonomi yang masih lesu. Menurut data pemerintah,  industri pariwisata Hong Kong menyumbang sekitar 3,6% terhadap produk domestik bruto (PDB) negara itu sebelum pandemi Covid-19 dan memperkerjakan 232.700 orang. 

Oliver Tong, Kepala Ritel Hong Kong di JLL menyebut, penjualan ritel Hong Kong selama Golden Week justru sama dengan akhir pekan pada kondisi normal  meskipun jumlah  pejalan kaki di toko-toko mengalami peningkatan sekitar 20%-30%.

Baca Juga: Efek Kebijakan Bebas Visa, Thailand Dibanjiri Turis China

Perusahaan konsultan ini semakin pesimis dengan prospek penjualan ritel pada libur tahun baru mendatang hingga libur Ilmek.

Menurut data Departemen Sensus dan Statistik, nilai penjualan barang-barang mewah, termasuk perhiasan dan jam tangan, mencapai HK$ 5,2 miliar sepanjang bulan Agustus 2023. Angka itu turun dari periode yang sama tahun 2018, tahun sebelum terjadinya kerusuhan politik di Hong Kong dan pandemi Covid-19.

Industri ritel dan jasa semakin menderita karena jumlah penduduk Hong Kong yang meninggalkan kota tersebut melebihi jumlah wisatawan yang datang dari daratan. Terdapat total 1,5 juta orang yang keluar, sementara jumlah pelancong dari Tiongkok daratan hanya 970.000 orang.

Faktor lain yang membuat turis asing masih sepi karena mata uang Hong Kong dalam dollar semakin semakin menguat terhadap yuan. Itu membuat harga barang di Hong Kong jadi terasa lebih mahal bagi turis China daratan.

Baca Juga: Kunjungan Turis Asing di Indonesia Kalah Jauh dari Thailand

Meskipun dulunya Hong Kong adalah tujuan belanja yang tak terbantahkan di Tiongkok, kota ini kini menghadapi persaingan ketat dari provinsi Hainan. Pulau tropis bebas pajak di bagian selatan China muncul sebagai tujuan terpanas untuk berbelanja barang mewah, dengan kehadiran merek global yang semakin meningkat di sana. 

Pekan lalu, unit bebas bea LVMH, DFS Group, mengumumkan bahwa mereka akan membangun mal besar di sana, yang merupakan mal pertama milik perusahaan tersebut di Tiongkok daratan.

Perubahan perilaku kelompok turis asal China daratan di Hong Kong ini merupakan peringatan bagi industri pariwisata, yang telah dikritik dalam beberapa tahun terakhir karena terlalu berpuas diri terhadap lambatnya mengembangkan lebih dari sekedar mempromosikan atraksi yang didorong oleh konsumsi.

Editor: Dina Hutauruk