Turun dalam, Adaro: Pergerakan harga saham di luar fundamental



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga Saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO) terus tertekan. Namun demikian, Direktur ADRO David Tendian menegaskan tekanan yang terjadi pada saham perusahaan murni karena mekanisme pasar dan sudah di luar fundamental.

"Padahal, bisnis kami yang lima tahun lalu hanya sedikit, kini sudah membesar," kata David akhir pekan lalu, Jumat (4/5).

ADRO yang sebelumnya hanya perusahaan tambang kini berubah menjadi konglomerasi dengan delapan pilar bisnis mulai dari pertambangan, penyedia infrastruktur air bersih, logistik, kontraktor pertambangan hingga perusahaan investasi.

Namun, sepetinya pasar belum memasukan faktor itu, terutama kontribusi pemasukan dari power plant yang akan berjalan dan dari Kestrel. "Kontribusinya signifikan," imbuh David.

Sayang, manajemen belum bersedia buka-bukaan terkait kontribusi tersebut. Tapi informasi yang diperoleh KONTAN, ADRO bakal memperoleh tambahan laba US$ 50 juta hanya dari bisnis power plant saja.

Cuma memang, masih ada sejumlah isu yang mengaburkan prospek tersebut. Salah satunya soal isu lingkungan. "Kami tidak menampik hal tersebut," imbuh David.

Tapi, kontributor polusi terbesar sejatinya bukan dari sektor batubara yang menghasilkan karbon dioksida, melaikan peternakan yang menghasilkan gas metan. Gas ini berbahaya bagi lapisan ozon.

Polutan debu juga menjadi isu. Tapi, karakteristik batubara Indonesia itu bersih. Kandungan debunya hanya sekitar 2%. Bandingkan dengan debu batubara China yang sebesar 30%. India bahkan mencapai 40%. "Jika batubara 1 ton dibakar, 40% itu debu," terang David.

Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Andy Wibowo Gunawan bilang, sejatinya tak ada isu di fundamental ADRO. Produksi batubara ADRO kuartal I memang sempat turun.

"Tapi itu hanya karena faktor cuaca, sehingga akan kembali membaik dalam waktu dekat," tulis Andy dalam riset 3 Mei.

Dia masih mempertahankan rekomendasi buy saham ADRO. Target harganya Rp 2.750 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie