KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2021 sepertinya bukan menjadi tahun yang baik bagi reksadana terproteksi. Sepanjang Januari - November, jumlah dana kelolaan atawa Asset Under Management (AUM) produk yang satu ini sudah susut Rp 39,5 triliun. Merujuk data Infovesta Utama, pada akhir Desember 2020, dana kelolaan reksadana terproteksi masih sebesar Rp 137,40 triliun. Namun, pada akhir November 2021 jumlahnya hanya sebesar Rp 97,90 triliun. Artinya, AUM reksadana terproteksi telah turun 28,75%.
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan penyebab utama anjloknya dana kelolaan reksadana terproteksi disebabkan oleh keputusan pemerintah menurunkan pajak obligasi dari 15% menjadi 10%.
Alhasil, bagi investor memegang reksadana terproteksi tak lagi menguntungkan karena selain punya potongan pajak yang sama, juga dikenakan biaya manajer investasi maupun bank kustodian.
Baca Juga: Reksadana Terproteksi Kini Mengincar Minat Nasabah Ritel “Alhasil, banyak produk reksadana terproteksi jatuh tempo yang tidak digantikan produk baru. Ditambah lagi, pada pertengahan tahun, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) keluar dari reksadana terproteksi dengan nilai Rp 30-an triliun,” jelas Wawan kepada Kontan.co.id, Selasa (14/12). Kendati begitu, selepas BPKH keluar, dana kelolaan reksadana terproteksi mulai tumbuh. Pada bulan Mei, AUM reksadana terproteksi berada di level terendahnya yakni Rp 92,53 triliun. Jika dihitung sejak Juni hingga November, maka dana kelolaannya sudah naik 5,37 triliun atau tumbuh 5,8%. Menurut Wawan, kenaikan ini tidak terlepas dari adanya penerbitan produk reksadana terproteksi baru. Walau dari sisi jumlah tidak sebanyak yang jatuh tempo, tapi dari sisi nominalnya besar sehingga bisa mengangkat AUM.
Baca Juga: Target pertumbuhan AUM industri reksadana 2022 Rp 600 triliun Lebih lanjut, ia menjelaskan walaupun ada penurunan minat investor secara umum, reksadana terproteksi masih menawarkan prospek yang menarik bagi investor retail. Maklum, untuk membeli satu unit obligasi diperlukan modal Rp 1 miliar, di mana tidak semua investor retail punya modal tersebut. “Jadi ketika investor retail bergabung, mereka jadi bisa beli reksadana terproteksi. Apalagi, jika produknya berisikan SBN, risikonya sangat rendah tapi menawarkan imbal hasil di atas deposito sehingga menarik bagi investor,” imbuhnya. Di satu sisi, ia juga menilai masih terdapat investor institusi yang karena satu dan lain hal tidak diperbolehkan untuk memiliki obligasi secara langsung sebagai instrumen investasi. Alhasil, kelompok investor institusi ini masih memerlukan keberadaan reksadana terproteksi.
Baca Juga: Meneropong prospek reksadana pasar uang di tahun 2022 Terkait prospeknya pada tahun depan, Wawan meyakini nasib reksadana terproteksi tergantung pada penerbitan obligasi korporasi baru. Jika penerbitan ramai, dengan kupon yang relatif tinggi, serta risiko gagal bayar yang memudar seiring perbaikan ekonomi, reksadana terproteksi masih bisa jadi salah satu pilihan menarik. Terlebih lagi, bagi investor ritel, kini sudah tidak sulit untuk mendapatkan akses reksadana terproteksi seiring semakin banyak Agen Penjualan Efek Reksa Dana yang sudah menawarkan produknya secara online.
“Selama pasar prospektif dan pemulihan ekonomi berjalan sesuai harapan, seharusnya reksadana terproteksi bisa menawarkan imbal hasil 7%-8% nett. Ini sangat menarik bagi investor,” kata Wawan. Terkait dana kelolaan reksadana terproteksi pada tahun depan, Wawan cukup menyangsikan bisa tumbuh pesat selama tidak ada kebijakan pajak reksadana kembali diturunkan kembali menjadi 5%. Sekalipun terdapat banyak produk baru, menurutnya produk yang jatuh tempo juga tak kalah banyak. Sehingga perkiraannya, setidaknya dana kelolaan produk ini bisa kembali ke atas Rp 100 triliun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli