Tutup utang lama dengan obligasi baru



JAKARTA. Pasar modal domestik bakal kebanjiran dana di semester kedua tahun ini. Sebab, tidak sedikit emiten yang memiliki utang jatuh tempo pada tahun ini. Selain utang perbankan, emiten juga akan melunasi utang obligasi pada tahun ini. PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mencatat, obligasi yang jatuh tempo pada tahun ini mencapai sekitar Rp 87,2 triliun. 

Agaknya, obligasi bakal menjadi pilihan emiten sebagai instrumen pelunasan utang kali ini. Sejumlah emiten yang utangnya jatuh tempo di tahun ini menggunakan surat utang (refinancing) untuk melunasi kewajiban perusahaan dalam waktu dekat. 

Ambil contoh PT Aneka Gas Industri Tbk (AGII). Emiten yang masuk bursa saham sejak 2016 ini menerbitkan obligasi senilai Rp 100 miliar untuk membayar utang obligasi yang akan jatuh tempo pada Desember 2017. "Kami sudah menerbitkan obligasi Juni lalu untuk refinancing," ujar Rachmat Harsono, Wakil Direktur Utama AGII kepada KONTAN, Kamis (3/8).


PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) pun memilih surat utang untuk membayar utang obligasinya. Yang berbeda, APLN akan menerbitkan obligasi dalam bentuk dollar Amerika Serikat (AS) untuk membayar utang Obligasi II Agung Podomoro Land Tahun 2012 yang jatuh tempo pada 15 Agustus 2017. "APLN baru menerbitkan global bond yang sebagian akan digunakan untuk melunasi obligasi yang akan jatuh tempo tersebut," papar Wibisono, Investor Relations APLN saat dihubungi KONTAN, kemarin.

Nilai global bond yang dirilis melalui anak usahanya, APL Realty Holding Pte Ltd ini mencapai US$ 300 juta. Obligasi global tersebut terbit di Singapura pada Juni lalu. Rencananya, sekitar 30% dari nilai bersih surat utang itu akan digunakan untuk membayar utang obligasi APLN yang diterbitkan pada 2012 lalu senilai Rp 1,2 triliun.

Emiten properti lainnya, PT Hanson International Tbk (MYRX) pun sempat menyuarakan rencananya menerbitkan obligasi demi melunasi beberapa utang bank yang jatuh tempo di 2017. Namun, Direktur Utama MYRX Benny Tjokrosaputro mengatakan perusahaan batal merilis obligasi tersebut. "Arus kas dari penjualan sudah cukup baik, jadi kami belum perlu menerbitkan obligasi untuk membayar utang yang jatuh tempo tahun ini," kata dia belum lama ini. 

Pada semester pertama tahun ini, kas internal perusahaan memang meningkat. Di periode tersebut, Hanson membukukan arus kas dan setara kas sebesar Rp 739,07 miliar atau meningkat 122,81% dibanding kas internal per akhir 2016 lalu. Lonjakan kas ini disebabkan oleh penawaran umum perdana anak usaha mereka, PT Armidian Karyatama Tbk, yang berhasil meraup Rp 500 miliar.

Obligasi menarik

Memang, obligasi menjadi sangat populer belakangan ini bagi para emiten untuk refinancing. Managing Director Investa Saran Mandiri Jhon Veter mengemukakan, kondisi ekonomi yang membaik membuat emiten semakin tertarik untuk menerbitkan surat utang. "Inflasi yang rendah membuat yield obligasi saat ini lebih rendah dibandingkan 3-5 tahun yang lalu," kata dia.

Bunga obligasi saat ini pun semakin menarik dibandingkan beberapa tahun belakangan. Sekarang, bunga obligasi berkisar antara 9% hingga 10%, sehingga bisa memberikan dampak positif terhadap keuangan perusahaan. Angka ini lebih rendah dibandingkan pinjaman bank yang bunganya bisa mencapai 11%. 

Selain menguntungkan perusahaan dengan tingkat bunga yang lebih rendah daripada pinjaman perbankan, obligasi juga menguntungkan investor. Pasalnya, bunga yang bisa diperoleh investor nilainya jauh lebih besar dibandingkan dengan bunga deposito yang ditawarkan perbankan.

"Kalau lewat obligasi, investor langsung mendapatkan bayaran bunga dari si emiten dan bunganya lebih besar. Berbeda dengan deposito bank di mana nasabah hanya mendapat bunga sekitar 6% karena ada intermediasi dari bank," tutur Jhon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati