Ubah Jamur Jadi Kulit Ramah Lingkungan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Selama ini, bahan baku kulit umumnya berasal dari kulit sapi atau domba. Ternyata, di tangan Mycotech Lab (MYCL), perusahaan rintisan teknologi asal Bandung, bahan baku kulit bisa dari limbah jamur. Mereka berhasil menciptakan kulit sintetis dari jamur.

Produk tersebut, MYCL ciptakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi limbah pertanian dan menghadirkan produk yang lebih ramah lingkungan, bahkan mampu menekan emisi karbon. MYCL merupakan wirausaha sosial yang menerima dana hibah dari program DBS Foundation Social Enterprise (SE) Grant pada 2016 dan 2018. 

Teranyar, MYCL berhasil meraih pendanaan S$ 250.000  di Philanthropy Asia Summit 2024. Produsen biomaterial berkelanjutan itu berhasil menjadi mentee program Amplifier dari Centre for Impact Investing and Practices (CIIP) dan Philanthropy Asia Alliance (PAA) pada 15 April lalu.


Dalam pengelolaan limbah, MYCL mampu mengubah 500.000 kg limbah pertanian per tahun sebagai bahan baku, mengurangi limbah akhir sebanyak 73.974 kg per tahun, dan mengurangi emisi karbon sebesar 64.184,88 ton CO2-e. Kini, MYCL mengembangkan produk ramah lingkungan berbasis jamur untuk fashion dan bangunan, yakni Biobo dan Mylea.

Chief Innovation Officer MYCL Mohamad Arekha Bentangan mengatakan, MYCL berdiri pada 2015, dengan fokus menciptakan dampak sosial yang positif bagi masyarakat dan lingkungan. Usaha ini berangkat dari kekhawatiran terhadap banyaknya limbah jamur tiram yang dibakar karena tak terpakai. MYCL memanfaatkan sisa limbah itu. 

"MYCL mampu menghasilkan 10.000 kaki persegi kain kulit berbahan dasar jamur," sebut Arekha saat KONTAN mengunjungi fasilitas produksi MYCL di daerah Cisarua, Bandung, Jawa Barat, Rabu (24/7).

Dari proses produksi, waktu pembuatan Mylea lebih singkat, hanya hitungan bulan saja. Sedangkan kulit dari bahan sapi, tentu membutuhkan waktu lama karena proses pemeliharaan dan pembesaran hewan ini dari kecil hingga besar.

Menurut Arekha, karbon yang dihasilkan dari pengelolahan Mylea jauh lebih rendah, hanya 22,1 CO2 ekuivalen per meter persegi. Dia mengklaim, jika MYCL bisa meningkatkan produksi Mylea, maka diperkirakan karbon yang dihasilkan dapat -3 CO2 ekuivalen. 

"Kalau kulit sapi menghasilkan karbon 110 kilogram CO2 ekuivalen per meter persegi karena harus menunggu sapinya dari kecil sampai besar," paparnya.

Terkait rencana bisnis,  Arekha bilang, saat ini merupakan masa transisi menuju skala komersialisasi.

"Proses produksi yang saat ini masih manual bisa automasi dengan mesin, sehingga kapasitas produksi meningkat," sebutnya. 

Perluasan pasar pun menjadi fokus ekspansi bisnis MYCL. "Kami menargetkan, Mylea semakin kuat untuk pasar Singapura dan Jepang," ungkap Arekha.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Markus Sumartomjon