Uber dan IPO perusahaan merugi



Uber segera melakukan penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) di bursa Amerika Serikat (AS). Dengan valuasi sekitar US$ 100 miliarUS$ 120 miliar, IPO Uber bisa menjadi nilai IPO perusahaan rintisan atau startup bidang teknologi informasi (IT) tertinggi dalam sejarah.

IPO Uber menjadi sangat luarbiasa, mengingat kerugiannya juga terbesar dalam sejarah startup IT. Di 2018, kerugian operasional Uber sekitar US$ 3,7 miliar. Sedangkan rugi operasional Uber pada 2016 dan 2017 masing-masing US$ 3 miliar dan US$ 4,5 miliar. Setelah berdiri 10 tahun (sejak 2009), akumulasi kerugian Uber lebih dari US$ 12,5 miliar.

Salah satu alasan valuasi Uber sangat tinggi karena dianggap memiliki keunggulan seperti perusahaan teknologi Amazon, Facebook, dan Google. Namun, perbandingan kinerja keuangan Amazon, Facebook, dan Google dengan Uber menunjukkan perbedaan yang sangat jauh.


Amazon mencapai laba pertama di 2003 sebesar US$ 35 juta (sekitar 9 tahun setelah didirikan pada 1994), dengan pendapatan sebesar US$ 5,3 miliar. Google untung sekitar US$ 7 juta di 2001, tiga tahun setelah berdiri (1998), dengan pendapatan hanya US$ 86 juta. Facebook menghasilkan untung pada 2009 dengan nilai sekitar US$ 230 juta, sekitar lima tahun setelah berdiri. Saat itu pendapatan Facebook mencapai US$ 777 juta. Ketiga perusahaan IT unggulan ini mencapai laba dalam waktu kurang dari 10 tahun setelah berdiri, dengan pendapatan yang jauh lebih kecil dari Uber.

Pendapatan Uber di 2018 mencapai US$ 11,3 miliar. Saat Amazon, Google, dan Facebook memiliki pendapatan di atas US$ 10 miliar, laba masing-masing perusahaan mencapai US$ 190 juta, US$ 3,1 miliar, dan US$ 2,9 miliar. Bandingkan juga dengan kinerja keuangan Airbnb (berdiri 2008). Pada 2017, Airbnb memperoleh pendapatan "hanya" US$ 2,6 miliar dan untung US$ 100 juta.

Ada yang menganggap kerugian ini bagian dari strategi investasi Uber untuk mencapai skala ekonomi dan efek jejaring (network effect) pengguna aplikasinya. Sehingga, mereka bisa memonopoli pasar. Lagi-lagi mitos strategi monopoli terbantahkan ketika Uber kalah bersaing dan terpaksa keluar dari berbagai pasar strategis, seperti China (2016), Rusia (2017), dan Asia Tenggara (2018).

Saat ekspansi agresif, kerugian Uber meningkat tajam. Tapi, kala Uber keluar dari pasar strategis (China, Rusia, dan Asia Tenggara), kerugian Uber tetap besar. Ini mengindikasikan, tidak ada skala ekonomi, yakni total biaya per unit menurun sejalan dengan meningkatnya skala usaha di bisnis transportasi taksi ala Uber.

Jejaring efek

Monopoli juga sulit direalisasikan bila setiap perusahaan baru dengan cepat meniru aplikasi yang dibuat Uber dan jadi kompetitor utama di setiap negara: DidiChuxing (China), Yandex (Rusia), Ola (India), Go-Jek (Indonesia), dan Grab (Asia Tenggara).

Efek jejaring, yaitu manfaat bagi pengguna aplikasi semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya pengguna, ternyata tidak dimiliki Uber. Dalam bisnis telekomunikasi, pesawat terbang dan kargo, efek jejaring menjadikan biaya investasi per unit tersebar dalam setiap ekspansi jaringan. Pada saat bersamaan, semakin banyak pengguna jasa maka semakin besar pendapatan dari biaya investasi yang sama.

Biaya transportasi taksi didominasi biaya operasional, seperti upah supir, perawatan, dan depresiasi mobil, yang tidak bisa menurun sejalan dengan semakin banyaknya pengguna aplikasi Uber. Sebaliknya, penambahan jumlah pengemudi malah meningkatkan persaingan antarmereka, yang kemudian menurunkan penghasilan rata-rata pengemudi.

Aplikasi Uber tidak bisa memperbaiki alokasi sumber daya transportasi perkotaan, yang ditandai dengan puncak penggunaan di waktu berangkat kerja (pagi hari jam 06.00 sampai 09.00) dan pulang kerja (sore/malam jam 17.00 hingga 20.00). Di antara kedua waktu tersebut, kapasitas transportasi perkotaan banyak yang menganggur. Pilihan jalur pergi/pulang kerja relatif tidak bisa berubah, dengan insentif perubahan harga untuk optimalisasi pendapatan perusahaan.

Jejaring efek berlaku secara efektif dan efisien bagi perusahaan IT yang bergerak di dunia maya dan tidak tergantung pada keberadaan benda, seperti mobil, motor, dan pengiriman barang. Karena itu, efek jejaring berhasil meningkatkan untung bagi Facebook, Google, Amazon (khususnya unit marketplace & AWS).

Minimnya efek jejaring di Uber juga kontras dengan efek sejenis di perantara seperti Airbnb. Wisatawan menghadapi informasi yang asimetri dalam mencari tempat menginap di luar daerah atau negeri. Maka, evaluasi oleh wisatawan lain sangat bermanfaat untuk membuat keputusan dengan cepat dan biaya minimal. Kontras juga dengan efek jejaring di aplikasi agregator seperti Traveloka, yang digunakan para pengguna untuk mencari harga tiket dan tujuan berlibur paling sesuai selera serta ketersediaan dana.

Manfaat unik Airbnb dan Traveloka memungkinkan pengguna menurunkan berbagai potensi biaya produk dan biaya transaksi (termasuk verifikasi) atas sebuah produk yang sulit dilakukan secara langsung lintas daerah/negara. Efek jejaring serupa berlaku bagi marketplace seperti Alibaba.

Untuk sinergi bisnis aplikasi taksi panggilan, Uber melakukan ekspansi ke pengantaran makanan (Uber Eats, 2014) dan akuisisi bike-sharing jump (2018). Lagi-lagi, kedua bisnis ini belum mampu memperbaiki kinerja keuangan Uber. Sedangkan kompetitor Uber Eats seperti Grubhub sudah berhasil memperoleh laba.

Akhirnya, Uber berharap dengan mobil tanpa pengemudi (autonomus car). Terlepas kapan mobil otonom bisa terealisasi, mobil otonom dapat mengurangi biaya supir. Tetapi yang dilupakan, mobil otonom akan meningkatkan biaya perawatan mobil, asuransi, riset dan pengembangan, serta kebutuhan modal yang sangat besar bagi Uber.

Perhatikan juga argumen bahwa keunggulan Uber selama ini adalah: tidak memiliki mobil dan menggunakan sumber daya secara paruh waktu (dengan cara sharing). Mobil otonom akan menjadikan Uber sebagai pemilik mobil secara penuh waktu. Pada saat bersamaan, perusahaan-perusahaan yang lebih maju dalam bidang mobil otonom, seperti Waymo (Google), Tesla, GM, BMW, serta Mercedes, akan menjadi kompetitor berat Uber.

Maka wajar bila Tim O'Reilly, pengamat teknologi dan internet, menyatakan, penggunaan mobil otonom akan mempercepat kebangkrutan Uber (boingboing.net, 2 Oktober 2017).

Fakta-fakta ini menunjukkan, bahwa aplikasi pemanggil transportasi taksi atau ojek tidak unik dan tak menciptakan hambatan bagi pesaing untuk masuk ke pasar (barriers to entry). Uber tidak lebih dari sejenis perusahaan taksi dengan aplikasi pemanggil.

Nilai manfaat aplikasinya sangat rendah, maka Uber harus memberi subsidi untuk pengemudi dan diskon kepada konsumen. Akibatnya, pengeluaran terbesar Uber adalah insentif buat pengemudi dan promosi untuk memperoleh pengguna baru mereka.♦

Siswa Rizali Praktisi Pasar Modal

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi