Hanya mengantungi ijazah SMP, Udaya Halim sukses merintis kursus bahasa Inggris, mendirikan sekolah, dan mewujudkan museum. Udaya belajar dari hidup dan pengalaman memantapkan langkah bisnisnya kini. Saat Udaya Halim, 60 tahun, mendampingi rombongan periset ke Melaka, petugas museum setempat memanggilnya, “Profesor”. Udaya menanggapinya sambil tertawa dan berkata bahwa dia bukanlah profesor. “Tapi, dia tetap berkeras memanggil saya ‘Prof’, mungkin karena waktu itu rombongan saya terdiri dari profesor semua,” ujarnya. Sangat mudah menyangka Udaya sebagai profesor atau akademisi, terutama karena pria kelahiran Tangerang ini berbisnis pendidikan. Udaya mendirikan kursus King’s English Course pada tahun 1981. Aktivitasnya di dunia pendidikan meluas ketika menjadi partner British Council melalui Indonesia-Britain Education Centre (IBEC). Saat ini IBEC merupakan perwakilan 25 perguruan tinggi di Inggris Raya. Tidak berhenti di situ, Udaya juga mendirikan Prince’s Creative School. Gebrakan terakhirnya ketika tiga tahun lalu membuka Museum Benteng Heritage, di jantung Tangerang. Murid-muridnya memanggil Pak Mister Udaya, orang terbiasa menyebutnya Profesor—dengan rambut putih dan kacamata, Udaya memang layak dipanggil Prof—tapi anak keempat dari delapan bersaudara ini akan mengelak dan tertawa. “Saya ini tidak lulus sekolah formal. Saya ini lulusan University of Life, sekarang baru ambil S-4,” seru Udaya, yang hanya sekolah sampai SMP. Kendati begitu, tidak ada yang meragukan kemampuan Udaya. Bahkan, dia pernah menjadi direktur beberapa kolese di Australia, seperti Perth Commercial College. Hidup Udaya belakangan memang seperti pembalikan dari pengalaman masa kecilnya. “Filosofi saya adalah: ‘Baliklah kekurangan menjadi kelebihan Anda’. Saya juga tidak mau bekerja setengah-setengah,” tutur ayah dari empat anak yang sejak tahun 1998 bermukim di Perth, Australia ini. Waktu kecil, Udaya, yang dibesarkan di lorong Pasar Lama Tangerang, dikenal sebagai anak nakal. Saat bermain bola di depan rumah, kadang-kadang bola itu mengenai kios tukang gigi tetangga Udaya. Alhasil si tukang gigi marah besar dan menyiram anak-anak itu dengan air bekas kumur pelanggan. Malamnya, Udaya melakukan balas dendam. “Saya tambahkan saja huruf T di belakang tulisan Tukang Gigi,” kenangnya tersenyum. Karena label nakal ini, ayahnya enggan membiayai sekolah Udaya, hingga setelah lulus SMP Udaya diungsikan ke tempat neneknya di Senen, Jakarta Pusat. “Padahal, semua saudara saya dikuliahkan,” kata dia. Udaya lantas bekerja di toko Sinar Kawi milik sang nenek di Pasar Baru. Karena masih ingin belajar, Udaya minta dikursuskan bahasa Inggris. Tapi, subsidi kursusnya sebentar, sehingga Udaya harus pintar-pintar mengatur upah dari toko Rp 50 sehari untuk makan, transpor, dan bayar kursus. “Saya biasa beli nasi uduk satu porsi Rp 10, saya bagi dua, untuk siang dan malam,” ujarnya. Untuk berhemat, Udaya juga selalu berjalan kaki dari rumah neneknya di Senen ke Pasar Baru. Selain kursus, Udaya gigih mencari bacaan. Biasanya ia berburu di lapak buku bekas Kwitang. “Saya juga pernah menyalin satu buku di British Council karena enggak kuat bayar fotokopi,” gelaknya. Setelah merasa cukup belajar, Udaya membuka kursus bahasa Inggris dengan modal satu meja. Selain itu, ia juga menjadi tukang potret pernikahan dengan kamera sewaan. Kursus bahasa Inggrisnya ternyata maju pesat. Tapi, belakangan terhalang oleh aturan sertifikasi dari pemerintah. Ijazah SMP Udaya tidak laku untuk melegalisasi kursusnya. Akhirnya, Udaya bekerja lebih giat. “Saya bekerja apa saja. Jadi tukang foto, salesman, desainer, untuk mengumpulkan uang,” kenangnya. Setelah terkumpul Rp 4 juta ia pun berangkat ke Bournemouth, Inggris, demi selembar kertas sertifikat kursus bahasa Inggris. Cari pengalamanWaktu kursus, yang seharusnya empat bulan, bisa dikebut Udaya hanya dalam dua bulan. “Sisanya saya pakai jalan-jalan keliling Eropa mencari pengalaman,” ujar Udaya. Pengalaman berkelana dengan uang saku terbatas ini ternyata berguna bagi calon mahasiswa yang berangkat ke Inggris lewat IBEC. Udaya selalu menyertakan informasi tempat membeli bumbu Asia atau jalur transportasi bagi mahasiswa kliennya. Sepulang dari Eropa, Udaya pun tak ragu mendirikan King’s English Course di Tangerang. Kini, King’s tercatat punya 1.500 murid dengan lima cabang. Seiring berjalannya waktu, Udaya juga ingin menjembatani jurang sekolah formal yang acap dibilang memangkas kreativitas anak. Ia mendirikan Prince’s Creative School. “Anak dianggap nakal itu biasanya karena dia kreatif, tapi tak punya penyaluran,” tutur Udaya yang melatih guru untuk Prince’s.Bahkan ketika mendirikan Museum Benteng Heritage, Udaya juga berpikir tentang pendidikan. “Orang di negara lain sudah akrab dengan museum untuk belajar, mengapa kita tidak seperti itu?” tutur Udaya yang sekarang membawahkan sekitar 80 karyawan ini. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Udaya Halim belajar dari kehidupan untuk berbisnis
Hanya mengantungi ijazah SMP, Udaya Halim sukses merintis kursus bahasa Inggris, mendirikan sekolah, dan mewujudkan museum. Udaya belajar dari hidup dan pengalaman memantapkan langkah bisnisnya kini. Saat Udaya Halim, 60 tahun, mendampingi rombongan periset ke Melaka, petugas museum setempat memanggilnya, “Profesor”. Udaya menanggapinya sambil tertawa dan berkata bahwa dia bukanlah profesor. “Tapi, dia tetap berkeras memanggil saya ‘Prof’, mungkin karena waktu itu rombongan saya terdiri dari profesor semua,” ujarnya. Sangat mudah menyangka Udaya sebagai profesor atau akademisi, terutama karena pria kelahiran Tangerang ini berbisnis pendidikan. Udaya mendirikan kursus King’s English Course pada tahun 1981. Aktivitasnya di dunia pendidikan meluas ketika menjadi partner British Council melalui Indonesia-Britain Education Centre (IBEC). Saat ini IBEC merupakan perwakilan 25 perguruan tinggi di Inggris Raya. Tidak berhenti di situ, Udaya juga mendirikan Prince’s Creative School. Gebrakan terakhirnya ketika tiga tahun lalu membuka Museum Benteng Heritage, di jantung Tangerang. Murid-muridnya memanggil Pak Mister Udaya, orang terbiasa menyebutnya Profesor—dengan rambut putih dan kacamata, Udaya memang layak dipanggil Prof—tapi anak keempat dari delapan bersaudara ini akan mengelak dan tertawa. “Saya ini tidak lulus sekolah formal. Saya ini lulusan University of Life, sekarang baru ambil S-4,” seru Udaya, yang hanya sekolah sampai SMP. Kendati begitu, tidak ada yang meragukan kemampuan Udaya. Bahkan, dia pernah menjadi direktur beberapa kolese di Australia, seperti Perth Commercial College. Hidup Udaya belakangan memang seperti pembalikan dari pengalaman masa kecilnya. “Filosofi saya adalah: ‘Baliklah kekurangan menjadi kelebihan Anda’. Saya juga tidak mau bekerja setengah-setengah,” tutur ayah dari empat anak yang sejak tahun 1998 bermukim di Perth, Australia ini. Waktu kecil, Udaya, yang dibesarkan di lorong Pasar Lama Tangerang, dikenal sebagai anak nakal. Saat bermain bola di depan rumah, kadang-kadang bola itu mengenai kios tukang gigi tetangga Udaya. Alhasil si tukang gigi marah besar dan menyiram anak-anak itu dengan air bekas kumur pelanggan. Malamnya, Udaya melakukan balas dendam. “Saya tambahkan saja huruf T di belakang tulisan Tukang Gigi,” kenangnya tersenyum. Karena label nakal ini, ayahnya enggan membiayai sekolah Udaya, hingga setelah lulus SMP Udaya diungsikan ke tempat neneknya di Senen, Jakarta Pusat. “Padahal, semua saudara saya dikuliahkan,” kata dia. Udaya lantas bekerja di toko Sinar Kawi milik sang nenek di Pasar Baru. Karena masih ingin belajar, Udaya minta dikursuskan bahasa Inggris. Tapi, subsidi kursusnya sebentar, sehingga Udaya harus pintar-pintar mengatur upah dari toko Rp 50 sehari untuk makan, transpor, dan bayar kursus. “Saya biasa beli nasi uduk satu porsi Rp 10, saya bagi dua, untuk siang dan malam,” ujarnya. Untuk berhemat, Udaya juga selalu berjalan kaki dari rumah neneknya di Senen ke Pasar Baru. Selain kursus, Udaya gigih mencari bacaan. Biasanya ia berburu di lapak buku bekas Kwitang. “Saya juga pernah menyalin satu buku di British Council karena enggak kuat bayar fotokopi,” gelaknya. Setelah merasa cukup belajar, Udaya membuka kursus bahasa Inggris dengan modal satu meja. Selain itu, ia juga menjadi tukang potret pernikahan dengan kamera sewaan. Kursus bahasa Inggrisnya ternyata maju pesat. Tapi, belakangan terhalang oleh aturan sertifikasi dari pemerintah. Ijazah SMP Udaya tidak laku untuk melegalisasi kursusnya. Akhirnya, Udaya bekerja lebih giat. “Saya bekerja apa saja. Jadi tukang foto, salesman, desainer, untuk mengumpulkan uang,” kenangnya. Setelah terkumpul Rp 4 juta ia pun berangkat ke Bournemouth, Inggris, demi selembar kertas sertifikat kursus bahasa Inggris. Cari pengalamanWaktu kursus, yang seharusnya empat bulan, bisa dikebut Udaya hanya dalam dua bulan. “Sisanya saya pakai jalan-jalan keliling Eropa mencari pengalaman,” ujar Udaya. Pengalaman berkelana dengan uang saku terbatas ini ternyata berguna bagi calon mahasiswa yang berangkat ke Inggris lewat IBEC. Udaya selalu menyertakan informasi tempat membeli bumbu Asia atau jalur transportasi bagi mahasiswa kliennya. Sepulang dari Eropa, Udaya pun tak ragu mendirikan King’s English Course di Tangerang. Kini, King’s tercatat punya 1.500 murid dengan lima cabang. Seiring berjalannya waktu, Udaya juga ingin menjembatani jurang sekolah formal yang acap dibilang memangkas kreativitas anak. Ia mendirikan Prince’s Creative School. “Anak dianggap nakal itu biasanya karena dia kreatif, tapi tak punya penyaluran,” tutur Udaya yang melatih guru untuk Prince’s.Bahkan ketika mendirikan Museum Benteng Heritage, Udaya juga berpikir tentang pendidikan. “Orang di negara lain sudah akrab dengan museum untuk belajar, mengapa kita tidak seperti itu?” tutur Udaya yang sekarang membawahkan sekitar 80 karyawan ini. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News