JAKARTA. Penerapan sistem open Access dan unbundling pada jaringan pipa gas dinilai berdampak negatif pada harga jual gas ke konsumen. Tak hanya itu open access dan unbundling juga memicu fluktuasi dan ketidakstabilan harga jual gas. Hal itu diungkapkan oleh Ketua Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Deenderlianto berdasarkan analisis atas 40 disertasi doktoral yang di diterbitkan di jurnal internasional. "Berdasarkan hasil analisis historis di negara-negara Eropa, ternyata terdapat korelasi positif antara penerapan open access dan unbundling pada kenaikan harga gas” kata Deendarlianto, Kamis (27/2).
Itu sebabnya kata dia, pada negara yang menerapkan open access dan unbundling, kenaikan harga jual gas ditentukan oleh mekanisme pasar. “Sehingga menyebabkan fluktuasi yang memicu ketidakstabilan harga,” kata Deen. Kondisi fluktuasi ini semakin parah manakala dipicu kondisi abnormal seperti musim dingin yang ekstrem, serangan teroris dan lainnya. “Fakta yang ditemukan, pada tanggal 1 Januari 2014, Amerika Serikat mengalami musim dingin yang ekstrem dan membuat harga gas melonjak drastis,” Deendarlianto menambahkan. Kebalikan dari kondisi tersebut, hasil analisis ilmiah pada negara–negara yang tidak menerapkan open access dan unbundling, misalkan Rusia dan Thailand, ternyata harga gas justru jauh lebih murah dibandingkan negara yang menerapkan open access dan unbundling. Fluktuasi harga pun tidak terjadi pada negara yang tidak menerapkan open access. “Harga gas di negara yang tidak menerapkan open access dan unbundling terbukti lebih stabil”, kata Deen.