UGM : UU Cipta Kerja liberal kapitalistik, mengutamakan sumber daya ekstraktif



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR menyulut protes keras dari kalangan akademisi.

Mereka berpandangan, RUU Cipta Kerja ini cacat hukum karena pembahasannya tidak transparan dan mengesampingkan prinsip-prinsip hukum dan kaidah-kaidah hukum serta bertentangan dengan konstitusi negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Salah satu kritik keras atas pengesahan UU Cipta Kerja disampaikan oleh akademisi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Guru besar Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto melihat banyak dinamika yang terjadi dan meyertai proses pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja.   "Ada beberapa hal fundamental yang perlu mendapatkan perhatian dan catatan," katanya Selasa (6/10). 


Pertama, paradigma UU  Cipta Kerja menunjukkan negara diarahkan pada pengelolaan sumber daya yang ekstraktif. Hal ini berbahaya bertentangan dengan arus global bahwa pengelolan sumberdaya harusnya berbasis pada inovasi dan memperhatikan aspek lingkungan yanng lebih fundamental.

Kedua, pendekatan di RUU Cipta Kerja yang ekstraktif tersebut tercermin pada pasal-pasal  pengelolaan ekonomi dan sosial. 

"Ekonomi negara diserahkan kepada sistem liberal kapitalistik yang tidak sesuai dengan konstitusi dan sepirit pendiri bangsa kita," kata Sigit Riyanto, Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam konfrensi pers daring Selasa 6 Oktober 2020

Ketiga, dengan dua pendekatan tersebut UU Cipta Kerja pada saat yanng sama telah mengesampingkan dan memarginalkan perlindungan terhadap warga bangsa. Karena itu ke depan dengan UU Cipta Kerja ini bukan memberikan kemudahan kepada warga negara yang membutuhkan perlindungan, tapi justru warga termarginalkan.

Keempat, penyusunan RUU Cipta Kerja seharusnya tunduk pada kaidah dan cara-cara tertentu yang mengacu pada perencanaan atau pra UU yang baik, dan bisa dipertanggungjawabkan, serta visioner.

"Sayangnya menyertai pembahasan UU ini kertas kerja, masukan yang sudah diberikan oleh para akademisi dan masyarakat sipil dalam proses tidak terakomodasi bahkan dikesampingkan. Deleberasi pembuatan UU dan ada masalah yang harus disikapi dan direspon dengan kritis," katanya.

Zainal Arifin Muchtar, staf pengajar Fakultas Hukum UGM menambahkan, RUU Cipta Kerja ini dibuat dengan proses formal bermasalah dan substansi materiil yang banyak catatan.

Pertama, secara formil UU ini dibuat tanpa partisipasi dan aspirasi publik atau nyaris nol. "Karena aspirasi ditutup hanya pihak-pihak tertentu yang didengarkan. Ini mirip mahasiswa membuat skripsi atau tesis, sudah punya kesimpulan sendiri tinggal mencari data pendukung untuk membenarkanya," terang Zainal yang akrab di sapa Uceng ini. 

Dia juga menyebut seharusnya DPR bertanggung jawab untuk menyebarkan substansi pembahasan RUU Cipta Kerja. Namun yang terjadi selama pembahasan RUU ini tidak pernah ada risalah pembahasan, sehingga cacat secara formil.

"Cacat formil ini diperpanjang lagi karena beberapa anggota DPR saat sidang paripurna belum memegan draf terakhir RUU Cipta Kerja karena tidak dibagikan di rapat paripurna. Ini seperti pengesahan cek kosong, draf yang disahkan tidak dibagikan ke anggota DPR," katanya.

Seharusnya penyerahan draf akhir pengesahan UU kepada pemerintah dengan catatan kehati-hatian. Sehingga tidak ada lagi sigkronisasi dan typo setelah persetujuan. 

Kekhawatiran Zainal ini beralasan karena dari hasil penelitian yang ia lakukan, ada beberapa di pembahasan UU sebelummnya, walaupun sudah ada persetujuan dan pengesahan di DPR masih ada pasal-pasal titipan yang menyelip atau diselipkan.   "Setelah tahapan persetujuan jangan-jangan ada pasal-pasal titipan seperti di UU Pemilu," katanya.   Dengan ketiadaan risalah rapat di DPR, maupun tidak ada draft final, menyebabkan kontrol terhadap kualitas UU sulit dilakukan. Sebab tidak bisa diketahui mana pasal-pasal yang disepakati tingkat pertama, dan tingkat II, hingga persetujuan maupun hingga resmi diundangkan.    Kedua, berharap ada tekanan publik yang kuat, karena isinya banyak segmen masyarakat kesulitan, paradigma hukum sentralistik, mementingkan investasi dibandingkan dengan perlindungan hak asasi dan prosedur. 

"Mungkin perlu penolakann kolektif apakah bentuknya pembangkangan sipil, karena tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kalau tekanan publik kuat, itu sebagai bentuk partisipasi. Saya tak yakin Presiden tidak mau mengubah sikap karena yang ngebet adalah Presidennya," kata Zainal. 

Namun ia berharap Presiden masih bisa menimbang untuk tidak menandatangani UU Cipta Kerja ini sebagai pernyataan politik Presiden dan menjadi catatan kuat di proses ketiga sebelum diundangkan. Selain itu pilihan terakhir adalah uji materi atau judicial reviu UU Cipta Kerja. 

"Judicial Review harus dilakukan karena UU Cipta Kerja ini DPR dan Permerintah membelakangi kehendak publik dan partisipasi publik," katanya.

Zainal mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bekerja bersama melihat legislasi yanng makin meyebalkan di Indonesia.

"Karena UU Cipta Kerja ini kekalahan berkali-kali dari masyarakat dengan sistem legislasi seperti ini. Sebelumnya ada UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Mineral dan Batubara (Minerba), UU Mahkamah Konstisusi, prosesnya sepreti ini," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Syamsul Azhar