UI: Harga rokok Rp 50.000 cocok di produsen besar



JAKARTA. Tingkat konsumsi rokok masyarakat Indonesia terlampau masih tinggi. Mayoritas di antara mereka berada dalam kisaran pemuda dalam rentang usia 15-19 tahun.

Guru Besar Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany mengatakan, hal ini disebabkan oleh harga rokok yang masih terlalu murah. Menurutnya, pemerintah belum cukup mampu untuk menahan dan mengendalikan prevalensi konsumsi rokok.

"Dalam Workshop Harga Rokok, Dilema Pembangunan dan Kualitas Hidup di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (20/12), Hasbullah bilang, sebagai solusi untuk mengendalikan konsumsi sekaligus memandang keekonomian industri rokok, ia pernah simulasi tentang penetapan harga rokok yang paling tepat yaitu di harga Rp 50.000 per bungkus.


"Beberapa waktu lalu kami lakukan lagi simulasi. Dan dari simulasi di harga Rp 50.000 itu bisa cukup besar untuk menurunkan konsumsi rokok. Terserah cukainya berapa. Kalau di harga sekarang itu, tidak berdampak apa-apa terhadap konsumsi," jelasnya.

Namun demikian, harga Rp 50.000 ini hanya cocok diberlakukan untuk industri rokok yang besar. Sementara untuk industri rokok kretek tangan (SKT) yang market share-nya terus menurun, masih bisa ditetapkan harga yang rendah atau disubsidi. "Yang kecil-kecil bisa terima insentif," katanya.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi perokok di atas 15 tahun yang berasal dari keluarga termiskin meningkat dari 30% pada 2001 menjadi 53,8% pada 2013. Sementara dari kelompok terkaya menunjukkan penurunan dari jumlah konsumsi ataupun dalam jumlah pengeluaran biaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini