Uji materi UU Keuangan Negara ditolak MK



JAKARTA. Uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Uji materi itu dilayangkan sejumlah warga untuk meminta agar syarat pemblokiran anggaran oleh Kementerian Keuangan, diperketat. 

Menurut MK, kewenangan menteri keuangan untuk membintangi anggaran tidak bertentangan dengan konstitusi. Dalam pertimbangan yang disampaikan Hakim Konstitusi Arif Hidayat, MK menyatakan menteri keuangan dalam posisinya sebagai bendahara negara berfungsi sebagai pelaksana pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu dia dibenarkan untuk memberikan tanda bintang atau tidak mencairkan anggaran, walaupun anggaran tersebut penggunaannya sudah disetujui bersama DPR.

Apalagi pemberian tanda bintang dilakukan karena dokumen sebagai syarat administrasi pencairan anggaran tidak bisa dipenuhi, atau kondisi keuangan negara tidak memungkinkan. "Dengan pertimbangan itu, tidak serta merta mata anggaran yang disetujui dalam UU APBN bisa direalisasikan tanpa disertai adanya persyaratan administrasi tertentu yang menjadi bagian penting dakam mekanisme pertanggungjawaban keuangan negara," kata Arif di Gedung MK Selasa (11/11).


Dalam pertimbangan MK, Arif juga mengatakan, menteri keuangan sebagai bendahara negara merupakan pihak yang paling tahu kapan pembintangan anggaran bisa dilakukan. "Bahwa ada potensi penyalahgunaan kewenangan dalam pembintangan anggaran, hal tersebut bisa dicegah atau dihindari melalui berjalannya fungsi pengawasan DPR," katanya.

Sebagai catatan saja, uji materi terhadap kewenangan menteri keuangan dalam membintangi anggaran ini diajukan oleh Anton Aliabbas, dosen dan Direktur Research Institute for Democracy and Peace (Ridep) dan Aan Eko Widiarto, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Mereka menilai kewenangan menteri keuangan untuk mengesahkan atau tidak dokumen pelaksanaan anggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat 2 huruf b secara sepihak tanpa proses dengan DPR bertentangan dengan UUD 1945.

Sebab, kewenangan tersebut bisa digunakan dengan alasan yang subyektif. Awan Puryadi, kuasa hukum ke dua orang tersebut mengatakan bahwa salah satu fakta mengenai subyektifitas penggunaan kewenangan untuk memblokir anggaran tersebut bisa dilihat dari pemblokiran alokasi anggaran optimalisasi Kementerian Pertahanan sebesar Rp 678 miliar yang terjadi pada tahun anggaran 2012 lalu.

Waktu itu, proses pemblokiran dilakukan oleh menteri keuangan secara tertutup, tidak transparan dan hanya didasarkan pada permintaan Sekretariat Kabinet saja.

"Kami setuju kalau alasannya administrasi, tapi dalam contoh kasus anggaran Kementerian Pertahanan, di mana blokir dilakukan karena ada surat Sekretariat Kabinet bahwa ada indikasi korupsi, itu tidak ada kaitannya denga administrasi, itu baru penilaian subyektif," katanya Selasa (11/11)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa