Uji Materi UU Tipikor, Pemohon Minta Pembatalan atau Penambahan Syarat Bukti Suap



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). 

Uji materi ini diajukan oleh tiga pemohon, yakni Syahril Japarin (mantan Direktur Utama Perum Perindo), Kukuh Kertasafari (mantan pegawai Chevron Indonesia), dan Nur Alam (mantan Gubernur Sulawesi Tenggara). 

Para pemohon meminta agar kedua pasal tersebut dibatalkan atau ditambahkan syarat adanya bukti suap jika tetap diberlakukan.


Baca Juga: Soal putusan uji materi UU KPK, ini kata anggota komisi III DPR

Kuasa hukum pemohon, Maqdir Ismail, menyatakan bahwa korupsi secara umum didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi melalui tindakan seperti meminta, menerima suap, atau memeras. 

Namun, dalam praktik hukum di Indonesia, seseorang dapat disangka atau didakwa melakukan korupsi dengan menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, meski tanpa adanya bukti suap.

Menurut Maqdir, penerapan kedua pasal tersebut sering kali menyimpang dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Ia mengungkapkan bahwa bahkan orang yang beriktikad baik dan tidak berniat melakukan korupsi, serta mereka yang melaksanakan tugasnya tanpa menerima suap, bisa saja dipidana. 

Hal ini disebabkan karena perkara korupsi kerap dikaitkan dengan kerugian negara yang tidak jelas dan pasti.

Baca Juga: Sebagian Uji Materi UU KPK Dikabulkan, KPK Tidak Lagi Meminta Izin Dewan Pengawas

Lebih lanjut, Maqdir menegaskan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia telah gagal dalam menegakkan hukum yang berkeadilan berdasarkan kebenaran. Ia menyoroti bahwa perhitungan kerugian keuangan negara sering kali tidak didasarkan pada standar yang jelas dan justru menimbulkan ketidakpastian. 

“Sering kali, nilai kerugian yang dituduhkan mencengangkan, meski pada akhirnya dinyatakan tidak benar oleh pengadilan,” ujar Maqdir dalam keterangannya, seperti dikutip, Kamis (17/10).

Ketidakpastian hukum yang terjadi, menurut Maqdir, memiliki dampak serius bagi masyarakat dan mengancam minat investasi. Ia menekankan bahwa bagi investor, kepastian hukum dan penegakan hukum yang berkeadilan merupakan syarat utama, bahkan lebih penting dari kemudahan ekonomi.

Maqdir juga menyoroti ketidakjelasan pedoman dalam UU Tipikor, khususnya terkait tafsir perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang, yang saat ini didasarkan pada besarnya kerugian negara. 

Baca Juga: Penyuap Patrialis Akbar divonis 7 tahun penjara

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012, seseorang akan dipidana menggunakan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jika kerugian negara melebihi Rp100 juta. Jika kerugian di bawah Rp100 juta, Pasal 3 UU Tipikor yang diterapkan.

Ia juga menyinggung aturan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 Pasal 5, yang menentukan berat ringannya hukuman berdasarkan kategori kerugian, tingkat kesalahan, dampak, serta keuntungan. 

Menurut Maqdir, pedoman dalam menjatuhkan pidana seharusnya diatur dalam undang-undang, bukan oleh Mahkamah Agung.

Oleh karena itu, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan kedua pasal tersebut. Namun, jika MK memutuskan bahwa kedua pasal ini tetap diperlukan, mereka mengusulkan agar ditambahkan syarat adanya bukti suap sebagai dasar penerapan pasal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli