Ujian Nasional Dihapus, Sekolah Kembali Berdaulat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Senyum merekah di wajah Bani, pelajar kelas X Sekolah Menengah Atas (SMA) 6 Tangerang Selatan (Tangsel), begitu mendengar kabar bahwa Ujian Nasional (UN) akan dihapuskan di tahun 2021.

Bani mewakili jutaan anak di negeri ini yang menyambut gembira akan dihapuskannya UN. Ya, bagi sebagian besar pelajar di Indonesia, UN identik dengan sebuah ujian yang menakutkan.

Lebih menggembirakan, karena kabar ini muncul bukan dari orang sembarangan, melainkan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Mantan Bos Gojek ini menyatakan, UN dengan format seperti sebelumnya akan diselenggarakan terakhir kali tahun ini.


Untuk tahun 2021, ia akan menerapkan format baru standar kelulusan siswa. Nantinya sekolah akan kembali memiliki peranan penting dalam menentukan kelulusan siswa, tidak terpusat seperti sekarang.

Sekolah dibebaskan untuk menilai kompetensi siswa dan dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian komprehensif seperti portofolio dan penugasan.

Portofolio ini dapat dilakukan melalui tugas kelompok, karya tulis, maupun sebagainya. Pelaksanaan ujian tersebut dilakukan siswa yang berada di tengah jenjang sekolah sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran.

Intinya, penilaian kelulusan siswa akan dilihat dari dua hal yakni asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. Asesmen kompetensi minimum berbicara literasi dan numerasi.

Nadiem menjelaskan, literasi adalah kemampuan menganalisis suatu bacaan serta kemampuan untuk mengerti atau memahami konsep di balik tulisan tersebut. Sedang numerasi adalah kemampuan analisa menggunakan angka. Jadi, “Akan lebih ditekankan pada kemampuan analisis,” ungkapnya.

Nadiem menepis anggapan bahwa dirinya tidak mementingkan hafalan penguasaan konten mata pelajaran. Namun, yang ia inginkan adalah bagaimana kemampuan nalar, analitis dan berpikir kritis dari siswa bisa mendapatkan porsi yang lebih. 

Terkait survei karakter, hal ini akan menjadi panduan untuk sekolah dan pemerintah dalam melakukan perubahan. Misal untuk memberikan gambaran sejauh mana nilai Pancasila dan Gotong Royong dipahami oleh anak didik kita.

Persiapan 6 bulan

Nadiem beranggapan pemerintah selama ini hanya memiliki data kognitif dari para siswa tapi tidak mengetahui kondisi ekosistem di sekolah para siswa. Dengan survei ini, menurut dia, bisa didapatkan gambaran yang jelas.

Namun Nadiem sadar, upaya menyelenggarakan UN baru ini memerlukan waktu dan persiapan serius. “Kami minta waktu persiapan sekitar 6 bulan,” ungkapnya.

Di tahun ini pula, ia dan jajarannya akan melakukan survei dan mendalam terkait kesiapan infrastruktur pendidikan di Indonesia. Berangkat dari basis data yang akurat, Nadiem akan menyempurnakan konsep UN yang baru.

Ia juga menegaskan bahwa UN tidak bisa dihapuskan karena merupakan amanat Undang-Undang (UU). Namun bagai konsep penilaian dan pelaksanaan bisa berubah sesuai tuntutan zaman.

Yang pasti, Nadiem akan mempertahankan konsep penggunaan komputer sebagai salah satu alat dalam ujian yang dilaksanakan, termasuk berkaitan dengan evaluasi analisis dan berpikir kritis. Karena, memasuki era serba komputerisasi seperti sekarang ini, siswa sudah seharusnya dibiasakan menggunakan komputer.

Konsep ini akan melanjutkan ujian sebelumnya yang sudah mulai proses hijrah dari berbasis kertas menuju basis komputer.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi, menyambut baik rencana pemerintah tersebut. Selama konsepnya jelas, menurut dia, tidak ada salahnya dilaksanakan.

Namun yang pasti, ia menunggu penjelasan konsep secara komprehensif dari kementerian mengingat di level teknis guru hanya sebagai pelaksana. “Kami masih menunggu undangan kementerian untuk mensosialisasikan konsep baru tersebut,” ungkapnya.

Unifah bilang, kesiapan guru harus menjadi pertimbangan utama dari kebijakan ini. Maklum, selama ini guru di Indonesia sudah dipusingkan dengan kurikulum yang sering berubah. Terlebih, kualitas guru di Indonesia belum merata.

Kekhawatiran akan kesiapan guru juga muncul dari Anggota Komisi X DPR Fraksi PKS, Ledia Hanifa. “Saya meragukan kemampuan guru kita bisa memenuhi kriteria. Karena kenyataan di lapangan ya memang belum bisa dipukul rata,” tegasnya.

Ledia menambahkan, ketika UN diganti, seharusnya ada evaluasi yang menyeluruh serta harus ada alat ukur yang jelas untuk menggantikan UN. Jika selama ini ada kekurangan, klaim itu harus berdasarkan fakta di lapangan.

Nada dukungan muncul dari pengamat pendidikan Budi Trikorayanto. Menurutnya, keinginan Mendikbud pasti sudah didasarkan kajian. Tinggal bagaimana kita melihat implementasinya.

Budi bilang, selama ini UN telah membuat pendidikan di Indonesia mengalami disorientasi. “Guru dan siswa hanya fokus pada UN,” kritiknya.

Ditambah lagi, di lapangan banyak terjadi permainan politik pendidikan khususnya di daerah. Maklum, sekolah ditarget harus memiliki tingkat kelulusan 90%.

Namun, Budi mengharapkan kebijakan perubahan UN ini diimbangi dengan perubahan standar pendidikan nasional lainnya secara menyeluruh. Karena kalau tidak, kebijakan ini hanya ibarat tambal sulam saja mengikuti selera menteri.

Sedangkan, menurut Mohammad Abduhzen, pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, boleh saja sistem UN diganti, namun ia berpendapat sistem penilaian yang dilakukan harus kembali seperti yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di Pasal 57 dan 58.

Dalam UU tersebut, ada dua model evaluasi yang bisa dipakai. Pertama, evaluasi hasil belajar yang dilakukan oleh guru atau sekolah. Kedua, evaluasi untuk pengendalian mutu nasional atau pemetaan yang dilakukan oleh lembaga independen, seperti Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Abduhzen bilang, evaluasi hasil belajar bisa dilakukan melalui metode ujian dan non-ujian. Metode ujian dilakukan layaknya ujian sekolah yang berlangsung selama ini.

Sedangkan metode non-ujian terprogram khusus, seperti perkuliahan dengan satuan kredit semester (SKS). “Ketika semua SKS sudah lulus, anak bisa dianggap lulus,” ucapnya.

Ujian nasional selama ini dianggap sebagai cara untuk mengukur kondisi pendidikan nasional. Jika dihapus, pemetaan tak perlu dilakukan setiap tahun. "Bisa saja evaluasi belajar memungkinkan tidak melibatkan seluruh murid secara nasional, cukup dilakukan setiap 3–4 tahun sekali," ujar Abduhzen.

Anggaran UN

Biasanya, mengubah pelaksanaan ujian juga memiliki dampak pada perubahan alokasi dana. Contohnya saja, ketika ujian berbasis komputer diselenggarakan beberapa waktu lalu membuat beberapa pos alokasi dana berkurang.

Namun terkait biaya UN yang baru, Nadiem mengaku belum memiliki angka yang pasti. “Hitungan sementara tidak akan melebihi alokasi dana UN sebelumnya,” ungkapnya.

Sebagai gambaran, beberapa pelaksanaan UN sebelumnya mengalami penurunan signifikan akibat peralihan ke ujian berbasis komputer. Jika tahun 2015 dana UN sebesar Rp 560 miliar, maka di tahun 2016 turun menjadi Rp 335 miliar dan selanjutnya di tahun 2017 menjadi Rp 135 miliar.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud, Ade Erlangga Masdiana menambahkan, dengan penghapusan UN model lama, anggaran jauh lebih efisien. Pastinya Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) nanti jauh lebih sederhana.

“Dampaknya, biayanya yang tadinya 20 lembar, lalu guru ada 3 juta orang kali 20 lembar itu berapa?” ujarnya.

Selain itu, anggaran UN yang jumlahnya sampai ratusan miliar rupiah bisa dialokasikan untuk hal lain. Misalnya untuk pengembangan infrastruktur, bisa memperbaiki sekolah-sekolah, dan untuk mengembangkan guru penggerak. Plus, bisa juga diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan guru

Melalui realokasi anggaran yang digunakan untuk mengembangkan guru, maka bisa menghadirkan tenaga pengajar yang kompeten. “Itu kan mimpi kita bersama, memiliki guru-guru yang kompeten secara merata,” kata Ande.

Mari kita nantikan konsep UN baru ini!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri