UMP 2026 Dinilai Telah Abaikan 64 Komponen KHL, Picu Aksi Demo Buruh Lanjutan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 kembali memicu gelombang penolakan dari kalangan buruh.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama Partai Buruh memastikan aksi demonstrasi (demo) akan terus digelar lantaran formula kenaikan upah dinilai belum mencerminkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Aksi terbaru berlangsung di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Senin (29/12/2025).


Presiden Dewan Eksekutif Nasional Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Saepul Tavip, menegaskan bahwa kenaikan upah idealnya berbasis KHL yang dihitung melalui survei Dewan Pengupahan Daerah.

Baca Juga: KSPI Geruduk Istana 29-30 Desember 2025: UMP DKI 2026 Dinilai Tak Masuk Akal

Survei tersebut mencakup 64 komponen kebutuhan dasar pekerja lajang sebagaimana diatur dalam Permenaker No. 18 Tahun 2020 Tentang Kebutuhan Hidup Layak.

“Selama formula kenaikan upah tidak mengacu pada KHL, penolakan buruh akan terus terjadi. Setiap daerah punya struktur biaya hidup yang berbeda, sehingga tidak bisa diseragamkan,” ujar Saepul kepada Kontan, Senin (29/12/2025).

Menurutnya, formula UMP dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 49 Tahun 2025 masih mengandalkan indeks alpha pada kisaran 0,5 hingga 0,9.

Skema ini dinilai mengaburkan kebutuhan riil pekerja, terutama di tengah kenaikan harga pangan, perumahan, dan transportasi yang menjadi komponen pengeluaran terbesar buruh.

Aksi penolakan terhadap UMP sejatinya bukan fenomena baru. Hampir setiap penetapan upah minimum selalu diiringi demonstrasi, mencerminkan konflik struktural yang belum terselesaikan antara kebijakan pengupahan dan daya beli pekerja.

Pola ini berpotensi menciptakan ketidakpastian hubungan industrial yang berulang dari tahun ke tahun.

Kenaikan UMP 2026 juga berimplikasi langsung terhadap sektor industri padat karya seperti garmen, tekstil, alas kaki, dan elektronik. Meski demikian, Saepul menilai permohonan dispensasi UMP tidak akan marak, sebagaimana pada kenaikan sebelumnya sebesar 6,5% yang ditetapkan Presiden Prabowo.

Ia menegaskan, dispensasi upah hanya layak diberikan kepada perusahaan yang benar-benar tidak mampu secara finansial dan telah melalui audit menyeluruh. Tanpa transparansi, dispensasi justru berpotensi memicu konflik industrial yang lebih luas.

Baca Juga: UMP Naik 6–7% di 2026, Upah Riil Pekerja Justru Terus Tergerus

Di tengah kekhawatiran dunia usaha, Saepul menilai aksi demonstrasi buruh tidak serta-merta mengganggu iklim investasi selama berlangsung kondusif dan tidak anarkis. Namun, ia mengakui bahwa konflik pengupahan yang terus berulang dapat meningkatkan persepsi risiko berusaha.

“Yang menentukan iklim investasi bukan semata demo buruh, tetapi kemampuan pemerintah menciptakan kepastian hukum, memberantas pungli dan korupsi, menghadirkan sistem perpajakan yang rasional, menekan biaya logistik, serta memastikan infrastruktur yang memadai,” tuturnya.

Berulangnya aksi penolakan UMP menegaskan bahwa kebijakan pengupahan masih menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah.

Tanpa reformasi formula upah yang lebih transparan dan partisipatif, penetapan UMP berpotensi terus menjadi sumber konflik tahunan yang bukan hanya menekan daya beli pekerja, melainkan juga membayangi stabilitas iklim investasi nasional.

Selanjutnya: BMKG Prediksi Puncak Musim Hujan di Jawa dan Sumatera Terjadi pada Januari 2026

Menarik Dibaca: Ramalan Zodiak Keuangan dan Karier Besok Selasa 30 Desember 2025: Sinergi Tahun Baru

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News