UMP Naik 6,5% pada 2025, Beban Pengusaha Manufaktur Makin Berat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para pengusaha industri manufaktur tampak keberatan dengan keputusan pemerintah yang menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% pada 2025 mendatang. Sebagai kompensasi, pengusaha meminta pemerintah serius melindungi industri dalam negeri.

Dalam berita sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengatakan, kenaikan UMP 6,5% dilakukan dengan pertimbangan kebutuhan hidup yang layak. Kenaikan UMP diharapkan mampu mendongkrak daya beli para pekerja dengan tetap memperhatikan daya saing usaha.

Sebenarnya, kenaikan UMP 6,5% masih jauh di bawah tuntutan serikat pekerja yang mengusulkan UMP tahun 2025 naik 8% sampai 10%.


Prabowo juga menyebut, upah minimum sektoral akan ditetapkan oleh Dewan Pengupahan Provinsi, Kota, dan Kabupaten. Adapun ketentuan rincinya akan dimuat dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker).

Baca Juga: Dampak PPN 12%, Pengeluaran Buruh Akan Meningkat Rp 2,75 Juta per Tahun

Sekretaris Jenderal Perkumpulan Perusahaan Pendingin Refrigerasi Indonesia (Perprindo) Andy Arif Widjaja menyatakan, pihaknya berharap agar perhitungan UMP dapat sesuai dengan formula yang berlaku dan mengacu atas tingkat inflasi nasional dan daerah. "Perhitungan UMP yang tidak tepat tentunya akan memberatkan pelaku usaha," kata dia, Minggu (1/12).

Perprindo juga berharap pemerintah dapat memberikan insentif-insentif kepada para pelaku usaha yang terdampak kenaikan UMP 6,5%. Dengan adanya kebijakan ini, tentu para produsen pendingin refrigerasi harus cermat dalam melakukan efisiensi biaya mengingat tantangan bisnis pada 2025 cukup berat.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono menyampaikan, kenaikan UMP 6,5% akan semakin menambah beban para pelaku usaha yang sudah dihantam berbagai tantangan lain seperti maraknya peredaran produk impor, pelemahan nilai tukar, hingga PPN 12% yang hampir pasti berlaku tahun depan.

Industri manufaktur, termasuk petrokimia, kemungkinan bakal kesulitan memenuhi komitmen kenaikan UMP 6,5% jika berkaca pada kondisi bisnis terkini yang serba menantang. "Jangankan UMP naik, kami sekarang untuk mempertahankan bisnis saja sudah susah," ungkap Fajar, Minggu (1/12).

Baca Juga: Kenaikan Upah Minimum 6,5%, Industri Kian Tertekan di Tahun Depan

Dia menambahkan, saat ini industri hilir petrokimia banyak yang mengalami penurunan utilisasi hingga tinggal 50%. Jika terus berlanjut, maka industri hulu petrokimia juga akan terdampak.

Kenaikan UMP 6,5% juga berpotensi mempengaruhi keyakinan investor untuk masuk ke industri manufaktur Indonesia, apalagi jika pemerintah tidak memberikan insentif yang menarik. "Investor saja meminta harga gas US$ 6 per MMBTU terkadang masih digantung nasibnya," imbuh Fajar.

Menurut Fajar, akan sulit bagi pemerintah jika tidak berkompromi atas kebijakan-kebijakan krusial tahun depan seperti kenaikan UMP 6,5% dan PPN menjadi 12%. Terlebih lagi, pemerintah ingin pertumbuhan ekonomi nasional bisa menembus 8%.

Jika ingin melaksanakan seluruh kebijakan tersebut, Inaplas berharap pemerintah benar-benar serius dalam mengendalikan impor agar industri manufaktur nasional terlindungi. "Kami minta pasar domestik yang jadi andalan pelaku usaha dilindungi," tegas dia.

Selanjutnya: Madura United vs Persebaya: Prediksi & Link Live Streaming Hari Ini, Senin (2/12)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati