UMP Naik 6–7% di 2026, Upah Riil Pekerja Justru Terus Tergerus



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Rata-rata kenaikan upah minimum provinsi (UMP) pada 2026 diperkirakan berada di kisaran 6%–7%.

Namun demikian, kenaikan tersebut belum mampu mengimbangi tekanan terhadap upah riil pekerja di Indonesia.

Kajian Bank Dunia dalam laporan Indonesia Economic Prospects edisi Desember 2025 mencatat, rata-rata upah riil di Indonesia justru mengalami kontraksi sebesar 1,1% per tahun sepanjang periode 2018–2024.


Baca Juga: Rosan Pastikan 15.000 Hunian untuk Korban Banjir Sumatra Rampung dalam 3 Bulan

Tekanan terbesar dialami oleh kelompok pekerja berkeahlian tinggi, dengan penurunan upah riil mencapai 2,3% per tahun.

Bank Dunia menilai kondisi tersebut tak lepas dari struktur penciptaan lapangan kerja yang cenderung terkonsentrasi di sektor bernilai tambah rendah.

“Penciptaan lapangan kerja antara Agustus 2024 dan Agustus 2025 sebagian besar terkonsentrasi di sektor-sektor bernilai rendah, seperti pertanian serta akomodasi dan makanan-minuman,” tulis Bank Dunia dalam laporannya, dikutip Minggu (28/12/2025).

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda menilai kontraksi upah riil mencerminkan fondasi ekonomi domestik yang masih rapuh, dengan proyeksi daya beli masyarakat yang berpotensi terus tergerus.

“Dampaknya memang lebih terasa dalam jangka menengah dan panjang karena pasti akan menekan daya beli masyarakat,” ujar Nailul kepada Kontan.co.id, Minggu (28/12/2025).

Baca Juga: Perizinan dan Investasi Dinilai Jadi Kunci Pertumbungan Ekonomi RI pada 2026

Menurut Nailul, tekanan terhadap upah riil terjadi karena minimnya penciptaan lapangan kerja baru, terutama untuk tenaga kerja berpendidikan tinggi.

Di sisi lain, jumlah lulusan perguruan tinggi terus meningkat setiap tahun.

“Akibatnya, para pencari kerja berebut pada lapangan kerja yang terbatas. Posisi tawar perusahaan menjadi lebih tinggi, sehingga upah tidak meningkat signifikan dan tetap tergerus inflasi,” jelasnya.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Nailul menilai pemerintah perlu mendorong pembukaan lapangan kerja di sektor berteknologi menengah dan tinggi agar mampu menyerap tenaga kerja berkeahlian menengah dan tinggi.

Dengan demikian, pertumbuhan upah diharapkan dapat melampaui laju inflasi.

Baca Juga: Anggaran Bencana Rp 60 Triliun Cukup, Menkeu Pastikan MBG Tak Terganggu

Selain itu, penguatan upah juga dinilai penting untuk menopang pertumbuhan ekonomi melalui daya beli masyarakat yang lebih kuat.

“Iklim investasi harus benar-benar diperbaiki, termasuk dengan menghilangkan ‘biaya siluman’, baik dari preman berdasi maupun tidak berdasi,” tegas Nailul.

Pandangan serupa disampaikan Anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory Yusuf. Ia menilai meningkatnya jumlah angkatan kerja yang tidak diimbangi penciptaan lapangan kerja menjadi faktor utama masih tertekannya upah riil.

Menurut Arief, minimnya lapangan kerja berkualitas dipicu oleh fenomena deindustrialisasi prematur, sehingga investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) yang masuk tidak lagi menghasilkan banyak pekerjaan bernilai tambah tinggi.

Baca Juga: Ekspansi Belanja APBN 2026 Bertumpu pada Pemerintah Pusat, Begini Konsenkuensinya

Selain itu, tantangan juga datang dari iklim investasi yang kurang kondusif, seperti over-regulasi dan praktik favoritisme.

“Belum lagi tekanan dari otomasi dan perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang turut memengaruhi pasar tenaga kerja,” ujar Arief.

Selanjutnya: OJK Sebut Industri Reasuransi Masih Berpeluang Perkuat Ekuitas Secara Organik

Menarik Dibaca: Samsung Galaxy Tab A11+ Pakai Layar 11 Inci & Stylus Pen, Ada Memori hingga 2 TB

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News