KONTAN.CO.ID - BRUSSELS/LONDON. Komisi Eropa mengumumkan rencananya untuk menunda pelaksanaan undang-undang yang melarang impor komoditas yang terkait dengan deforestasi selama satu tahun, setelah mendengar seruan dari industri dan pemerintah di seluruh dunia. Undang-undang ini dianggap sebagai tonggak penting dalam upaya melawan perubahan iklim, tetapi banyak negara dan industri, mulai dari Brasil hingga Malaysia, menganggapnya sebagai tindakan proteksionis yang dapat mengecualikan jutaan petani kecil yang kurang beruntung dari pasar Uni Eropa (UE).
Kekhawatiran Terhadap Regulasi Deforestasi UE
Berbagai peringatan dari sektor industri menunjukkan bahwa regulasi deforestasi UE (EUDR) dapat mengganggu rantai pasokan di Uni Eropa dan mendorong kenaikan harga.
Baca Juga: Sawit Indonesia Dijegal Eropa, Kemendag Perjuangkan Melalui IEU-CEPA Sekitar 20 dari 27 negara anggota UE meminta Brussels pada bulan Maret untuk mengurangi dan mungkin menangguhkan undang-undang tersebut, dengan alasan bahwa undang-undang ini akan merugikan petani UE sendiri, yang akan dilarang mengekspor produk yang ditanam di lahan yang telah terdeforestasi. Sementara itu, proposal penundaan ini memerlukan persetujuan dari Parlemen Eropa dan negara-negara anggota. Komisi juga menambahkan bahwa mereka akan menerbitkan dokumen panduan tambahan untuk membantu implementasi undang-undang tersebut.
Tanggapan terhadap Penundaan
Kampanye lingkungan mengecam langkah penundaan ini. Greenpeace menyatakan, "Ursula von der Leyen mungkin sama saja dengan menggunakan gergaji mesin sendiri. Orang-orang di Eropa tidak ingin produk yang berasal dari deforestasi, tetapi itulah yang akan mereka dapatkan dengan penundaan ini." Organisasi seperti WWF juga mengatakan bahwa penundaan ini meragukan komitmen Komisi dalam memenuhi janji-janji lingkungan UE. Kelompok kampanye kehutanan Eropa, Fern, mencatat kebakaran hutan yang melanda Amazon dan sekitarnya, menyerukan agar UE memperkuat bukannya melemahkan tekadnya untuk menjadikan undang-undang yang "sangat dibutuhkan" ini kenyataan.
Baca Juga: Mengukur Skala Prioritas Industri Sawit Dalam Negeri Regulasi EUDR: Apa yang Berubah?
EUDR, yang seharusnya mulai berlaku pada 30 Desember, akan mengharuskan perusahaan-perusahaan yang mengimpor produk seperti kedelai, daging sapi, kakao, kopi, minyak sawit, kayu, dan karet untuk membuktikan bahwa rantai pasokan mereka tidak berkontribusi pada penghancuran hutan di seluruh dunia. Ini termasuk pemetaan digital rantai pasokan hingga lokasi lahan tempat bahan mentah mereka ditanam, bahkan di lahan pertanian kecil di daerah terpencil. Para kritikus menyebutkan bahwa hal ini sangat kompleks dalam rantai pasokan yang melibatkan jutaan pertanian dan banyak perantara yang datanya sulit untuk diverifikasi. Eurocommerce, yang mewakili industri ritel Eropa, menyatakan rasa syukur atas pengakuan Komisi terhadap kekhawatiran mereka terkait kepatuhan dan kemungkinan gangguan rantai pasokan.
Posisi Brussels dan Dampak Lingkungan
Brussels berargumen bahwa EUDR diperlukan untuk mengakhiri kontribusi blok tersebut terhadap deforestasi, yang merupakan penyebab kedua perubahan iklim setelah pembakaran bahan bakar fosil. Berdasarkan data dari WWF, UE merupakan kontributor kedua terbesar terhadap deforestasi melalui impor.
Baca Juga: Indonesia Berjibaku Mengurai Hambatan Ekspor ke Eropa dan Amerika Penundaan implementasi undang-undang ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana UE akan memenuhi komitmen lingkungan yang telah dibuat, serta dampaknya terhadap pasar global dan kesejahteraan petani kecil. Ketidakpastian ini tidak hanya berpengaruh pada ekosistem tetapi juga terhadap kesejahteraan ekonomi masyarakat yang bergantung pada pertanian berkelanjutan.
Editor: Handoyo .