Unik, perhiasan dari clay ini mulai populer!



KONTAN.CO.ID -  Dunia fesyen dalam negeri terus bergerak maju mengikuti tren yang berkembang di pasar internasional. Para perancang perhiasan pun  menghadirkan ragam produk sesuai tren terkini. Salah satunya, perhiasan berbahan clay alias tanah liat.  

Belakangan, clay memang mulai banyak digunakan sebagai bahan baku perhiasan seperti anting, kalung, dan gelang. Nampak mengkilap dengan desain unik, produk ini mulai menarik perhatian konsumen.  

Sekedar info, clay lebih dulu populer di Amerika, Australia dan sejumlah negara barat lainnya. Material ini menjadi salah satu bahan para perancang perhiasan merealisasikan karyanya.


Ratna Paramita, pemilik Mita Jewelery, mulai ikut memproduksi aksesoris berbahan clay sejak setahun lalu. "Saya melihat ini menjadi peluang karena di Indonesia masih belum banyak," katanya pada KONTAN, Senin (16/7).

Karena masih belum populer di pasar lokal, ibu dua anak ini harus melakukan edukasi dengan menjelaskan material bahan baku yang digunakan secara langsung melalui pameran ataupun melalui media sosial seperti Instagram.

Perlahan namun pasti, produknya pun mulai diterima dan kian banyak bertengger di etalasi gerai offline di kota-kota besar seperti Good Deps, Museum Macam, gerai aksesoris di Makassar dan Singapura.

Dalam sebulan total produksinya mencapai 300-400 item. Maklum, proses pembuatannya masih handmade,  sehingga membutuhkan waktu lama.

Menyasar konsumen kelas menengah, Mita menjual perhiasan mulai Rp 140.000 sampai Rp 300.000 per item.  Tersedia beragam desain anting, kalung, dan gelang yang telah dibuatnya.

Perancang perhiasan lainnya adalah Karin Kusuma Wardani asal Jakarta yang juga pemilik dari Kavas Jewelery. Dia mengaku produk berbahan baku clay memang sudah populer di Amerika Serikat, namun, untuk pasar dalam negeri, material ini baru mulai dikenal pasar, melalui produk-produk aksesoris.

Karena belum banyak yang menggunakan clay, Karin pun harus mengambil bahan bakunya langsung dari luar negeri. Ia juga dibantu oleh pemasok clay.  Sayangnya, dia enggan menyebutkan total kebutuhannya untuk membuat berbagai perhiasan.

Lewat tangan kreatifnya, perempuan 23 tahun ini menyulap clay menjadi anting dan aksesoris lainnya. Dia juga membuka desain custom, sehingga konsumen dapat membuat aksesoris sesuai dengan keninginannya.

Untuk harganya dipatok mulai dari Rp 90.000 sampai Rp 250.000 per item. Dalam sebulan, total produksinya masih 10 unit karena terbatasnya tenaga kerja.

Hingga kini, konsumen Kavas Jewelery masih didominasi dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, Palembang, Medan, dan Surabaya.                            

Harus punya karakter desain untuk membentuk pasar

Meski sudah populer di kalangan pecinta fesyen luar negeri, perhiasan berbahan clay belum banyak dikenal oleh konsumen lokal. Produsen pun terus mengedukasi pasar. Baik melalui pameran, event hingga media sosial.  

Seperti yang dilakukan Karin Kusuma Wardani asal Jakarta yang juga pemilik dari Kavas Jewelery. Ia selalu memberi penjelasan soal produk perhiasannya di setiap label perhiasan buatannya.  

Karin bisa memberi penjelasan detil lantaran sampai hari ini dia masih mengerjakan sendiri seluruh proses produksi. "Membuat produk ini membutuhkan ketelitiaan baik dalam proses panggang, potong dan pemilihan warna yang tepat," katanya pada KONTAN, Senin (16/7). Perempuan 23 tahun ini pun terus melakukan riset dan ujicoba untuk mendapatkan produk sesuai keinginannya.  

Tidak mempunyai latarbelakang pendidikan dunia fesyen, Karin harus belajar sendiri  melalui berbagai akun tutorial Youtube, buku, dan berdiskusi dengan teman-teman perajin. Dia tak berhenti belajar, lantaran yakin clay jewelery yang sekarang menjadi tren baru ini, bakal populer satu sampai dua tahun mendatang.

Karin memprediksi hal tersebut lantaran makin banyaknya ahli perhiasan yang mulai memproduksi perhiasan berbahan clay. Namun, dia tak mengkhawatirkan persaingan yang akan terjadi. Pasalnya. setiap pengrajin telah mempunyai karakter desain masing-masing dan karakter ini membentuk pasar sendiri.

Dia pun banyak membuat desain perhiasan dengan tema alam seperti kerang dan lainnya. Karin mengaku banyak mendapatkan inspirasi desain dari petualangannya menjelajah pantai Indonesia.

Kendala yang sampai saat ini ditemuinya adalah sulitnya mendapatkan perajin yang terampil dan sesuai dengan standarnya.

Berbeda dengan Karin, Ratna Paramita, pemilik Mita Jewelery yang banyak mendapatkan ide desain dari tren fesyen luar negeri dan juga event yang diselenggaran di sejumlah negara di Eropa dan Amerika.

Kendala usaha yang dihadapinya adalah membuka pasar dalam negeri. Pasalnya, belum banyak konsumen yang mengenal dan percaya dengan perhiasan berbahan clay.

"Produk ini tidak akan pecah meski jatuh dan tidak berubah bentuk dan warna meski terkena air, tapi belum banyak konsumen yang percaya sehingga harus diberi penjelasan," katanya.

Munculnya pemain baru dan kian terasanya aroma persaingan juga tak memusingkan Ratna. Menurutnya setiap perancang perhiasan mempunyai karakter sendiri dalam menciptakan desain produk.

Ditambah lagi, makin banyaknya pemain baru disektor ini akan membuat pasar lebih mengenal sehingga bisa menjadi tren fesyen ke depannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Johana K.