Untung rugi memblokir Facebook



Melihat pengalaman dari berbagai negara, pemblokiran media sosial, seperti Facebook, bukanlah hal baru, baik yang sifatnya sementara maupun permanen. Pengguna Facebook di Indonesia nampaknya juga harus bersiap jika pelarangan serupa diberlakukan.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, membuat sinyalemen ini. Ada dua hal yang menjadi alasan: pertama kekhawatiran berkaitan dengan skandal pelanggaran data. Facebook diduga membocorkan lebih dari satu juta data pengguna Indonesia ke konsultan politik Cambridge Analytica bersama 87 juta kasus pelanggaran data serupa di dunia.

Indonesia sendiri memiliki aturan tentang kerahasiaan data pribadi: Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 dan Peraturan Menteri Nomor 20 tahun 2016 menjamin kerahasiaan data pribadi dalam penggunaan media elektronika. Pertimbangan menteri menutup Facebook cukup beralasan sampai perusahaan ini bisa membuktikan kebocoran data tersebut memang tidak terjadi di Indonesia.


Alasan kedua yang juga cukup berkaitan adalah kekhawatiran bahwa Facebook akan disalahgunakan untuk penyebaran hoaks sehingga memiliki potensi menimbulkan gejolak politik menjelang pemilihan Presiden pada tahun 2019. Ini berkaca dari pilpres empat tahun lalu dan pilkada DKI Jakarta, tahun 2017.

Di luar masalah keamanan dan kerahasiaan data, ada aspek lain yang sebenarnya bisa menjadi pertimbangan yaitu dampak ekonomi dari kehadiran Facebook. Faktor ini bisa dipakai sebagai justifikasi pemblokiran Facebook telah mengantisipasi besaran kerugian ekonomi yang mungkin akan ditimbulkan.

Berdasarkan data Statista, sampai dengan bulan April 2018, Indonesia adalah negara dengan jumlah pengguna Facebook ketiga terbesar di dunia, di bawah India dan Amerika Serikat. Dengan total pengguna sekitar 140 juta; tingkat penetrasi penggunaan media sosial ini sekitar 54%. Namun, untuk penduduk di atas 15 tahun, tingkat penetrasi media sosial mencapai 73%. Atau sekitar tujuh dari 10 penduduk produktif pengguna media sosial tersebut.

Dengan total akun pengguna mencapai 2,2 miliar di seluruh dunia, Indonesia berkontribusi tidak kurang dari 11% dari total pengguna atau tiga kali lipat dari proporsi total penduduk Indonesia secara global.

Sejak kemunculan dan proliferasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK), seperti telepon seluler dan Internet sejak 1990-an, sejumlah penelitian telah dilakukan untuk melihat dampak difusi teknologi ini terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.

Facebook masih perlu

Telepon seluler, misalnya, dipercaya telah membantu negara berkembang dan memfasilitasi inklusi digital dengan biaya yang lebih murah dan proses yang lebih cepat. Studi yang dilakukan Caselli dan Coleman (2001) melihat dampak dari adopsi komputer dan menunjukkan bahwa difusi ini telah membantu peningkatan kualitas sumber daya manusia dan berkembangnya sektor jasa sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru.

Dampak ekonomi juga teridentifikasi dari difusi internet peta lebar (broadband); studi dari Crandall dan Jackson (2001) di Amerika Serikat memperkirakan penggunaan broadband telah menyumbang tambahan output ekonomi US$ 500 miliar.

Lantas, apakah terdapat manfaat ekonomi dari platform media sosial untuk para pengguna?

Facebook sendiri telah menjelma sebagai salah satu perusahaan IT terbesar di dunia. Berdasarkan R&D Investment Scoreboard-sebuah laporan berisi data operasional perusahaan yang dirilis Komisi Eropa pada 2017, Facebook mencatat nilai penjualan 26,2 miliar dan laba sebesar 11,8 miliar pada 2016–2017. Ini setara dengan hampir seperempat total penerimaan APBN 2018. Dengan jumlah karyawan 17.000, laba rata-rata per karyawan Facebook sekitar 691.000 adalah setara dengan PDB per kapita seperempat juta penduduk Indonesia.

Namun, apakah Facebook juga telah berkontribusi dalam mengubah pola hidup masyarakat di Indonesia secara ekonomi.

Sulit sekali menjawab pertanyaan di atas di tengah basis sumber data yang sangat terbatas. Namun, satu survei indikatif tahun 2017 oleh LIRNEasia think tank yang berfokus pada kebijakan dan peraturan infrastruktur TIK yang berpusat di Kolombo- bisa memberikan sedikit gambaran bagaimana sebenarnya masyarakat Indonesia memiliki persepsi tentang Facebook dan media sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Survei yang didanai Ford Foundation itu tidak mengklaim data yang dikumpulkan menggambarkan kondisi Indonesia secara representatif. Tapi, beberapa indikasi menarik tetap dapat diambil.

Sampel survei mencakup 1.206 rumah tangga di seluruh Indonesia melingkupi kelompok pengguna dan non pengguna telepon seluler dan Internet. Di antara pengguna internet, 63% menyatakan mereka menggunakan Internet untuk mengakses media sosial (termasuk Facebook), 14% untuk kegiatan pekerjaan dan 6% untuk pendidikan. Lebih dari setengah pengguna media sosial memiliki jaringan lebih dari 500 di akun media sosial mereka dengan 86% menggunakan media sosial ini secara rutin setiap hari.

Untuk responden yang kebetulan memiliki usaha kecil, 85% menggunakan media sosial untuk memasarkan produk. Ini cukup menarik mengingat UKM adalah satu skeleton dari perekonomian Indonesia yang menyumbang 60% PDB dan 90% penyerapan tenaga kerja tahun lalu. Temuan ini menyiratkan bahwa platform media sosial seperti Facebook mulai memfasilitasi munculnya kegiatan ekonomi di Indonesia.

Dari aspek politik, hanya 20% dari responden mengekspresikan pandangan politik mereka secara publik melalui media sosial. Sementara sepertiga pengguna media sosial yang disurvei setuju penggunaan media sosial telah memicu perbedaan, lebih dari separuh mengatakan mereka tidak akan unfriend atau unfollow rekan mereka hanya karena perbedaan politik. Temuan lain, dari 58 responden yang melaporkan mengalami kekerasan di media sosial, hanya sebagian kecil (2%) karena aspek politik.

Tentu saja, analisis ini memiliki kemampuan generalisasi yang terbatas, sehingga studi yang lebih mendalam memakai data nasional yang representatif sangat diperlukan. Sebagai temuan awal, survei ini menunjukkan pemblokiran Facebook di Indonesia bukan merupakan kebijakan yang tepat.

Sebab,pertama, pengguna di Indonesia mulai bisa memakai platform media sosial ini secara produktif dan menarik nilai ekonomi dari jaringan yang ada. Kedua, kekhawatiran penggunaan media sosial yang bisa mempengaruhi persepsi dan menggiring opini publik masyarakat secara luas tidak begitu berdasar. Ketiga, pengalaman di Sri Langka menunjukkan pemblokiran Facebook bukan merupakan solusi efektif jika ketakutan terhadap dampak berputarnya hoaks dan fake news jadi pertimbangan.

Walaupun terkesan klise, solusi paling efektif dari permasalahan ini tetap pada upaya preventif. Untuk menjaga hak digital warga negara Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi