Upaya G20 Mengadvokasi dan Mengelola Beban Utang Negara-Negara di Dunia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banyak negara berkembang anggota G20 yang harus menambah utangnya demi menyelamatkan perekonomian dari dampak pandemi Covid-19. Kondisi semakin sulit karena ekonomi global masih diliputi ketidakpastian hingga saat ini. Dari sini, forum KTT G20 diharapkan menghadirkan solusi bagi banyak negara agar dapat mengendalikan utang yang dimilikinya.

Rentetan krisis yang dihadapi negara-negara di dunia, termasuk negara anggota G20 belum berakhir. Usai pandemi Covid-19, dunia masih dihadapkan oleh krisis geopolitik serta kenaikan harga pangan dan energi.

Ditambah lagi, baru-baru ini Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin untuk mengimbangi inflasi yang telah meroket di negeri Paman Sam. Tak ayal, kebijakan tersebut kian menambah ancaman bagi negara-negara berkembang yang telah menanggung utang jumbo.


Bloomberg Economic menyebutkan ada sejumlah negara yang diambang default atau gagal bayar utang akibat efek konflik Rusia-Ukraina dan kebijakan pengetatan uang di AS. Di antaranya Sri Lanka, Pakistan, Ethiopia, Tunisia dan Ghana.

Bank Dunia juga menyatakan bahwa ada 60% negara berpenghasilan rendah yang sudah berada dalam kesulitan utang atau berisiko tinggi.

Indonesia per April 2022 lalu memiliki utang pemerintah sebesar Rp 7.040,32 triliun dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 39,09%. Di saat yang sama, utang luar negeri (ULN) Indonesia tercatat US$ 409,5 miliar dengan rasio ULN terhadap PDB sebesar 32,5%.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional, Shinta W. Kamdani menilai, tren peningkatan utang negara-negara di dunia sudah pada tahap yang mengkhawatirkan, bukan hanya untuk negara berkembang, melainkan juga untuk negara maju. Kecepatan penambahan utang negara-negara di seluruh dunia sangat tinggi dan dikhawatirkan memicu krisis ekonomi lanjutan apabila ada negara yang gagal bayar.

Risiko gagal bayar rentan terjadi pada negara-negara berpenghasilan rendah dan negara berkembang, khususnya negara yang memiliki cadangan devisa rendah. "Terkait ideal atau tidaknya rasio utang, sebenarnya ini tergantung dari fundamental ekonomi masing-masing negara," kata Shinta, Jumat (17/6).

Dampak kenaikan suku bunga The Fed juga harus ditelusuri berdasarkan persebaran instrumen utang negara-negara yang bersangkutan. Jika instrumen utang suatu negara sebagian besar beredar dengan mata uang dollar AS, risiko peningkatan beban utang tentu kian nyata.

Kadin menilai, Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 tahun 2022 tentu punya peran strategis dalam mengadvokasi pengurangan utang, atau setidaknya restrukturisasi utang bagi negara-negara berkembang dan berpenghasilan rendah yang rentan menghadapi wanpretasi utang kepada negara pemberi pinjaman yang umumnya ada di forum G20.

"Pendekatan untuk mengedepankan stabilitas finansial yang berkelanjutan secara jangka panjang juga sudah berjalan dalam upaya advokasi pengurangan dan restrukturisasi utang tersebut," ungkap Shinta.

Walau demikian, agar upaya restrukturisasi atau pengurangan utang dapat terealisasi, harus dilakukan banyak aksi lobi kepada negara-negara kreditur. Sebab, negara-negara tersebut punya banyak pertimbangan ketika harus memberikan pengampunan pelunasan utang maupun memfasilitasi restrukturisasi utang.

Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai, peningkatan utang di negara-negara maju, termasuk yang menjadi anggota G20, bahkan lebih besar dibandingkan negara-negara berkembang.

Ia juga berpendapat, risiko gagal bayar tidak ditentukan oleh besarnya utang, tetapi lebih kepada pengelolaan utang dan kondisi ekonomi negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, Jepang yang menjadi salah satu anggota G20 memiliki rasio utang lebih dari 200% dari PDB. "Tapi, tak ada satupun ekonom yang berani mengatakan Jepang akan gagal bayar utang," kata dia, Jumat (17/6).

Rasio utang Indonesia pun dibandingkan negara-negara G20 lainnya tergolong rendah. Sebab, Indonesia cukup disiplin dan ketat dalam mengelola utang.

Pada akhirnya, semua negara sudah dipastikan berutang karena memang ada kebutuhan yang memerlukan biaya besar. Piter bilang, selama utang ditujukan untuk program-program yang bersifat produktif dan mendatangkan pendapatan, maka utang tersebut tidak akan membahayakan bagi negara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ridwal Prima Gozal