Petang itu, para eksportir kelas kakap menyambangi Istana Bogor. Mereka sudah berdatangan sejak pukul 15.30 WIB. Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta mereka untuk datang. Total, ada sekitar 40 pengusaha papan atas yang datang ke Istana Bogor, Kamis (26/7) dua pekan lalu. Sebut saja, pemilik Grup Djarum R. Budi Hartono, bos Grup Indofood Anthoni Salim, pemilik Rajawali Group Peter Sondakh, Chairman GarudaFood Group Sudhamek Agung WS, dan bos Wings Group William Katuari.
Ada pula pemilik Medco Group Arifin Panigoro, Chief Executive Officer (CEO) Sritex Iwan Lukminto, dan Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi Thohir. Lalu, pendiri sekaligus Chairman Jababeka Group Setyono Djuandi Darmono, pemilik Panasonic Gobel Indonesia Rachmat Gobel. Tidak ketinggalan, turut hadir Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani serta Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani. Sedangkan Jokowi didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, serta Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong. Acara yang semula diagendakan pukul 16.00 WIB mundur menjadi 16.30 WIB. Dalam pertemuan tertutup yang berlangsung selama 2,5 jam, Presiden meminta para konglomerat yang hadir untuk membawa devisa hasil ekspornya (DHE) ke dalam negeri. Tujuannya, agar bisa membantu penguatan nilai tukar rupiah, memperkecil defisit transaksi berjalan, dan menjaga ketahanan ekonomi domestik di tengah tekanan global yang kian kuat. Dalam kesempatan itu, Presiden juga menyampaikan, bahwa masih ada 15% valuta asing (valas) milik para taipan tersimpan di luar negeri. “Jadi, menurut versi Presiden, ada 15% yang seharusnya dibawa ke dalam negeri sementara yang masuk baru 85%,” kata Rosan. Cuma, Rosan memastikan, devisa hasil ekspor tersebut bukan pelaku usaha sembunyikan di luar negeri. Namun, rata-rata pengusaha menggunakan untuk modal kerja serta pembayaran utang luar negeri. Bank Indonesia (BI) mencatat, sekitar 80%–90% DHE sudah masuk ke Indonesia. Data ini bank sentral peroleh dari hasil mencocokkan dokumen pengapalan dengan dokumen uang yang masuk ke perbankan. Namun, dari jumlah itu, DHE yang dikonversi ke rupiah masih sangat kecil. Data BI menunjukkan, valas hasil ekspor yang dikonversi ke mata uang garuda hanya 15% sampai 25% dari total valas yang tercatat kembali ke negara kita. Memang, Rosan mengakui, masih ada keraguan di kalangan pengusaha bila semua valas ditempatkan di perbankan dalam negeri, temasuk di konversi ke rupiah. “Khawatirnya, perbankan tempat menyimpan devisa itu belum tentu mau membiarkan dananya dipindahkan. Jadi ada usulan, kami cari bank asing yang ada cabangnya di Indonesia,” ujar Rosan. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, sejatinya tidak ada halangan besar bagi pengusaha untuk membawa kembali dana itu ke tanah air. Tapi, para pengusaha terhambat persepsi jika mereka masih memerlukan devisa tersebut. “Yang jelas, BI dan Kementerian Keuangan (Kemkeu) akan terus mencari solusi demi menjaga stabilitas dan kontinuitas kegiatan ekonomi sehingga memperkecil aspek spekulasi,” ungkap Sri Mulyani. Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI, membenarkan, rendahnya konversi DHE ke rupiah lantaran eksportir harus menyediakan valas untuk kebutuhan impor atau membayar utang luar negerinya. Demi menjaga ketersediaan valas di pasar dalam negeri, BI dan pemerintah mengarahkan eksportir untuk menggunakan fasilitas swap maupun forward guna menambah cadangan devisa. Melalui instrumen itu, eksportir bisa menjual valasnya untuk dibeli kembali pada periode yang telah disepakati. Dengan demikian, selama periode tersebut DHE dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan valas perbankan. Swap sendiri adalah transaksi pertukaran dua valas melalui pembelian tunai dengan penjualan kembali secara berjangka. Sedang forward ialah transaksi berjangka penyerahan valuta pada tanggal tertentu dengan memakai kurs yang disepakati pada tanggal transaksi. Banyak kendala Tapi, usaha pemerintah dan BI mendorong konversi DHE ke rupiah sepertinya bakal sulit terlaksana. Soalnya, banyak kendala yang menyebabkan pengusaha lebih suka tetap menyimpan DHE dalam valuta asing, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Shinta Widjaja Kamdani, Wakil Ketua Umum Apindo, menilai, permintaan Presiden kepada pengusaha untuk membawa pulang DHE dan mengonversikan ke rupiah tidak mudah direalisasikan. Banyak faktor yang membuat pengusaha masih enggan menyimpan dana valas mereka di dalam negeri.
Pertama, tidak ada benefit bagi pengusaha biar mau menarik DHE dan mengonversikan ke rupiah. Menurut Shinta, pelaku usaha lebih menginginkan insentif berupa keringanan suku bunga pinjaman ketimbang menaikkan bunga simpanan. Begitu juga keringanan pinjaman untuk ekspor.
Kedua, banyak pengusaha yang berkegiatan ekspor sehingga belum mau menyimpan DHE di dalam negeri. Shinta menyebutkan, ada pengusaha yang memang harus menaruh dananya di luar negeri untuk keperluan ekspor. Ada juga pengusaha yang menempatkan dana di luar negeri untuk mengimpor bahan baku.
Ketiga, pengusaha takut dengan fluktuasi rupiah. Kondisi ini menunjukkan, situasi perekonomian nasional belum stabil. Keempat, tingkat bunga simpanan di bank lokal kurang atraktif dibanding tawaran perbankan di luar negeri. Segendang sepenarian, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno bilang, bank kerap menerapkan harga kurs yang murah. “Kami dikasih kurs bawah saat menjual lalu kurs beli tinggi. Kalau kami dikasih kurs tengah, pasti ada
take and give-nya,” sebut dia. Sebenarnya, Benny menyatakan, imbauan pemerintah agar DHE dikonversi ke rupiah cukup baik, agar ekonomi nasional mendapat tambahan tenaga dari dari aktivitas ekspor. Tapi, pengusaha meminta insentif. Misalnya, biaya lindung nilai (hedging) kalau terjadi fluktuasi ditanggung pemerintah. Dengan begitu, konversi DHE ke rupiah tak jadi masalah. Tambah lagi, biaya swap yang diberlakukan BI masih mahal. Saat ini, otoritas moneter itu menerapkan biaya swap sekitar 5% untuk tenor satu bulan dan 6% buat yang enam bulan. “Coba dipermudah dan dipermurah. Sebab, biaya swap 4% saja mahal,” ungkap Benny. Tetapi, BI tidak perlu menghilangkan samasekali biaya swap. Persoalan lain, Benny menambahkan, ada sebagian pengusaha yang belum memahami fasilitas swap maupun hedging. “Mungkin 10%–15% anggota Kadin belum tahu cara hedging,” ujar Benny, yang juga Wakil Ketua Umum Kadin. Kurang menguntungkan Sebenarnya, Benny menuturkan, hampir semua pengusaha yang tergabung dalam GPEI telah membawa pulang DHE. Bahkan, di industri sawit nyaris semua perusahaan sudah mengonversi DHE ke rupiah. “Kecuali perusahaan yang didanai oleh asing yang harus menyetor ke pihak yang membiayai,” ujarnya. Hanya industri manufaktur yang bahan bakunya tidak ada di Indonesia yang mungkin tidak akan mengonversi DHE ke rupiah. Nah, sebetulnya pemerintah bisa memanfaatkan hal itu untuk mengundang investor menanamkan investasinya di sektor bahan baku yang masih impor. Tentu, dengan memberikan insentif fiskal, seperti tax allowance atau tax holiday. Ini bakal menguntungkan kedua belah pihak. Bagi manufaktur lokal, itu bisa mengurangi jumlah stok bahan baku impor sehingga memangkas biaya. Togar Sitanggang, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengakui, selama ini sektor sawit telah mengonversi hasil ekspornya ke rupiah. Mereka membutuhkan rupiah untuk pembelian bahan baku. Namun, tetap ada devisa ekspor yang ditahan dalam bentuk dollar AS untuk membayar utang. Memang, Anne Patricia Sutanto, Wakil Presiden Direktur PT Pan Brohters Tbk, menyatakan, bagi perusahaan eksportir sekaligus importir, kebutuhan akan dollar AS cukup besar. Nah, khusus industri tekstil dalam negeri, mayoritas memang masih merasa lebih nyaman meng-outsource modal kerjanya dengan bank asing. Sebab, bank asing sangat memahami bagaimana modal kerja di industri tekstil berjalan. Mereka juga tidak meminta jaminan apapun. “Hal ini sangat berbeda dengan perbankan lokal yang selalu meminta jaminan
fixed asset,” imbuh Anne. Sejatinya, pelaku usaha sudah sering meminta Kementerian Perindustrian dan BI untuk melakukan roadshow ke seluruh perbankan nasional, agar mengetahui
supply chain industri tekstil nasional. Di sisi lain, untuk konversi dollar AS ke rupiah, pebisnis merasa skemanya memang kurang menguntungkan. Sebab, ada
witholding tax yang diterapkan untuk laba ditahan. “Intinya, kami minta tidak dirugikan. Saat kami simpan, jangan ada biaya lagi. Misalnya, kami jual di level 14.450 per dollar AS, kemudian tiga hari lagi rupiah plus 20 poin. Itu ada
withholding tax,” papar Anne. Selain itu, pengusaha sering dibebani biaya swap yang mahal oleh bank, bisa sampai 7%. “Terkadang dapat 5%, tapi itu perlu usaha yang gigih untuk merayu bank,” jelas Anne. Tunggu insentif dulu. ◆ Selama Lewat Trader, Sulit Bawa Pulang Devisa Berbagai upaya yang sudah pemerintah dan Bank Indonesia (BI) lakukan untuk menarik devisa hasil ekspor (DHE) dan mengonversikan ke rupiah, sampai saat ini belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Enny Sri Hartati, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), bilang, salah satu kendala utama membawa pulang DHE dan mengubahnya jadi rupiah karena yang melakukan ekspor impor kebanyakan trader. “Data menunjukkan, eksportir yang menerima dollar AS ada 95% tapi untuk impor lagi. Artinya, yang selama ini melakukan kegiatan ekspor impor bukan produsen tapi trader,” katanya. Enny berpendapat, jika yang melakukan ekspor bukan produsen, maka sulit bagi pemerintah mengharapkan DHE bisa masuk. Maka itu, pemerintah harus menyederhanakan administrasi ekspor impor. Sehingga, perusahaan perkebunan, pertambangan, dan lain-lain bisa langsung melakukan ekspor impor tanpa harus melalui trader. “Nah, mereka ini tidak butuh dollar AS untuk beli bahan baku, dan bisa langsung mencairkan untuk biaya produksi yang memakai rupiah, seperti membayar gaji karyawan,” imbuh Enny. Menurut Lana Soelistianingsih, Ekonom Universitas Indonesia (UI), satu-satunya cara yang paling ampuh menarik devisa ialah dengan mempercepat pemasukan DHE ke pasar domestik dan tersimpan di Bank Indonesia (BI). Tapi, itu tidak bisa dilakukan kalau aturan yang berlaku masih membolehkan pemasukan DHE enam bulan setelah ekspor. “Ini perlu dievaluasi lagi. Paling efektif menarik devisa adalah tiga bulan pasca ekspor, harus masuk ke BI,” kata dia. Setelah itu, pemerintah dan BI juga harus membuat regulasi agar penarikan DHE bisa diperlambat.
Sebaiknya, pemerintah dan BI mengeluarkan kebijakan yang bisa menahan lebih lama lagi DHE di bank sentral. Namun, kebijakan tersebut tetap harus bisa memberikan jaminan kepastian dan keamanan bagi para eksportir. Sebab selama ini, para eksportir masih diliputi kekhawatiran dalam menyetorkan DHE. Untuk itu, pemerintah memang harus memberikan insentif untuk deposito valas buat pelaku ekspor.
** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 13 Agustus-19 Agustus 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Siap Pulang Kampung Asal Bertabur Insentif" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga