Upaya selamatkan jaminan kesehatan (2)



Sebelumnya: Upaya selamatkan jaminan kesehatan (1); Otak-Atik Layanan hingga Anggaran

Klaim Tertunda Banyak yang Merana

Fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit (RS) tengah merana lantaran terkena dampak persoalan keuangan di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pasalnya, klaim yang telah mereka ajukan ke BPJS kerap tertunda pembayarannya.

Dampaknya pun merembet ke mana-mana hingga menyerempet urusan kesejahteraan dokter dan karyawan RS. Jika terus dibiarkan, lama-lama pasien juga yang akan turut menjadi korban.


Berdasar aturan yang berlaku, BPJS Kesehatan mesti melunasi tagihan klaim yang diajukan RS paling lambat 15 hari kerja. Ini dihitung sejak berkas serta invoice diterima secara lengkap.

Memang, pada beberapa kasus keterlambatan pencairan klaim terjadi lantaran persoalan kelengkapan berkas yang diajukan rumah sakit.

Namun belakangan, klaim yang diajukan fasilitas kesehatan yang secara administrasi sudah lengkap pun mengalami keterlambatan. Bahkan, belakangan keterlambatan pencairan klaim semakin panjang.

Salah satu RS yang terpaksa menghadapi persoalan ini adalah RS Hermina. Hasmoro, Direktur Korporasi Grup RS Hermina menyebut, klaim pembayaran yang diajukan Hermina biasanya dibayar dalam tempo sekitar dua minggu. Namun belakangan, pencairan klaim baru terjadi setelah tiga bahkan hingga empat minggu.

Kondisi ini berdampak terhadap kondisi keuangan RS Hermina. Apalagi, jika kondisi sulit yang membelit dompet BPJS Kesehatan terus berlanjut bahkan makin parah.

Bukan apa-apa, secara rata-rata di semua cabang RS Hermina, setengah dari jumlah pasien yang dilayani merupakan peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). “Hingga saat ini tunggakan yang belum dibayar mencapai puluhan miliar rupiah. Angka ini terus naik 10%–15% dibandingkan tahun lalu,” kata Hasmoro.

Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesua (PERSI), Kuntjoro Adi Purjanto menyebut, sejauh ini pihaknya tidak punya data jumlah rumah sakit yang terkendala pencairan klaim.

Persi sudah melakukan verifikasi dengan mengirim surat kepada RS di seluruh Indonesia untuk mendapatkan angka yang pasti. Cuma, sejauh ini Persi kesulitan mendapatkan konfirmasi, terutama dari RS skala kecil. Padahal, RS skala kecillah yang paling banyak mengikat kontrak kerjasama dengan BPJS Kesehatan.

Yang jelas, untuk RS di DKI Jakarta saja, ada sekitar 26 RS yang pencairan klaimnya tertunda. “Nilai klaimnya antara Rp 400 miliar hingga Rp 500 miliar. Tapi ini datanya bergerak terus, ya. Karena saya dengar ada beberapa rumah sakit yang klaimnya sudah dibayar,” ujar Kuntjoro.

Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Persi Ichsan Hanafi bilang, RS tidak cuma harus menghadapi persoalan klaim yang terlambat dicairkan. Tidak sedikit kejadian, BPJS mencicil pencairan klaim dari RS. Misalnya, nilai tagihan yang diajukan Rp 2 miliar. Namun yang baru dibayarkan Rp 500 juta.

Keterlambatan pencairan klaim ditengarai akibat defisit keuangan yang dialami BPJS Kesehatan. Kondisi ini terjadi, terutama pada Agustus–September 2017. Meski tidak menunjukkan data, Kuntjoro menyebut pada periode tersebut terjadi lonjakan klaim dibanding bulan-bulan sebelumnya.

Dus, Selasa, 14 November 2017 lalu, Persi, perwakilan rumah sakit dari beberapa provinsi, dan pemangku kepentingan lainnya menemui direksi BPJS Kesehatan. Kuntjoro menyebut mereka ditemui oleh Maya Amiarny Rusady, Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan.

Pertemuan dilangsungkan untuk mengklarifikasi kondisi yang tengah dialami BPJS Kesehatan. Terutama, untuk pelunasan klaim yang diajukan rumah sakit ke BPJS. Pada pertemuan itu, direksi BPJS menjanjikan, untuk tahun 2017 hingga Desember, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

BPJS disebut memiliki dana untuk membayar klaim yang diajukan ke mereka. “Omongan itu kami pegang dan harapannya tidak ada masalah. Pertanyaannya, apakah pada Januari, Februari, dan Maret tahun depan masih bisa aman?” kata Kuntjoro sembari tertawa.

Seperti pesawat

Bagi pengelola rumah sakit, mendukung pelaksanaan program JKN sudah masuk dalam daftar prioritas. Namun, kepastian pencairan klaim juga penting bagi keberlanjutan pelayanan rumah sakit.

Ia mengibaratkan rumah sakit seperti pesawat terbang. Sama-sama rumit dan memiliki banyak titik keseimbangan yang harus dijaga agar bisa berjalan dengan baik. Kinerja dan operasional RS, atas nama keselamatan pasien, banyak regulasi.

Dus, dibutuhkan banyak sumber daya untuk memenuhi standar tersebut. “Kalau kinerja keuangan terganggu, kinerja manfaatnya juga akan terganggu. Sudah pasti itu,” tukasnya.

Dampak keterlambatan pembayaran klaim dari BPJS ke fasilitas kesehatan menjalar ke banyak aspek. Salah satunya soal kesejahteraan dokter. Bagi RS yang ditopang oleh kondisi keuangan yang bagus, tentu tidak akan jadi masalah.

Lain halnya bagi rumah sakit yang menghadapi keterbatasan pendanaan. Honor dokter yang melayani pasien BPJS juga akan ikut molor dibayarkan.

Noor Arida Sofiana menyebut, selayaknya dokter juga mesti dihargai dan memiliki hak untuk dibayar sesuai jasa medisnya tepat waktu. Jika terus-menerus terganggu oleh urusan kesejahteraan, dikhawatirkan pelayanan terhadap pasien bisa terdampak.

“Dokter juga manusia sama seperti manusia lainnya,” ujar Kepala Bidang Kesejahteraan Dokter di Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) itu.

Sejauh ini para dokter, kata Noor, masih berkomitmen memberikan pelayanan maksimal kepada seluruh pasien. Namun, jika keterlambatan klaim tidak bisa diatasi, pada akhirnya bakal berpengaruh ke mutu pelayanan.

Contoh sederhananya, jika BPJS Kesehatan telat mencairkan klaim, rumah sakit bakal kesulitan memasok obat. Jika sampai terjadi kekosongan obat, kemampuan dokter untuk memberikan layanan yang optimal pun bakal terganggu.

Pemasok obat tidak bisa terus-terusan menyuplai ke RS jika pembayaran tagihan mereka terganggu. Kata Kuntjoro, dalam jangka waktu tertentu, berdasar pengalamannya 35 hari–40 hari, jika tidak kunjung dibayar, pemasok obat tidak bisa mengirim pasokan ke RS.

Noor tidak bisa memastikan ada berapa banyak dokter yang terdampak persoalan ini. Yang pasti, semua dokter yang bekerja di fasilitas kesehatan yang menjadi provider BPJS ikut melayani peserta JKN.

Baik dokter umum yang ada di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) maupun dokter umum dan spesialis yang bekerja di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).

Sejauh ini ada 21.413 FKTP di seluruh Indonesia yang menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Terdiri dari klinik TNI, Polri, Klinik Pratama, Puskesmas, Dokter Umum, Dokter Gigi, dan RS D Pratama.

Untuk FKRTL yang terdiri dari klinik utama, RS swasta, RS pemerintah, dan RS khusus yang menjadi provider BPJS Kesehatan jumlahnya mencapai 2.445. (lihat infografis: Perkembangan Jumlah Fasilitas Kesehatan Yang Bekerjasama Dengan BPJS Kesehatan)

Lantas, bagaimana dampaknya terhadap peserta JKN? Betul, sejauh ini Persi dan PB IDI memberikan komitmen terhadap untuk tetap memberikan layanan yang optimal.

Hasmoro menjamin RS Hermina tetap berkomitmen untuk memberikan yang terbaik dan sesuai peraturan. Saat ada pasien yang datang, rumah sakit akan memberi pilihan: apakah memakai BPJS Kesehatan atau dengan metode pembayaran yang lain.

Apapun metode yang dipilih, Hasmoro menjanjikan pelayanan terbaik. “Misalnya, kalau pasien yang dirawat memang secara medis belum boleh pulang, ya kami tetap akan rawat,” tandas Hasmoro.

Kurang memuaskan

Namun fakta di lapangan, cerita tidak mengenakkan soal layanan fasilitas kesehatan bagi peserta JKN terus bermunculan. Lihat saja pengalaman Sudarsono (59), peserta BPJS kelas 2. Sekitar tiga bulan lalu ia diantar oleh Dwi, anaknya, ke salah satu rumah sakit swasta di Daan Mogot, Jakarta Barat.

Sudarsono ingin mengobati penyakit diabetes yang dideritanya. Setelah antre dari pagi hingga siang hari, Sudarsono pun melakukan pemeriksaan laboratorium. Keesokan harinya, ia datang lagi ke rumah sakit untuk mengambil hasil uji laboratorium.

Namun, ia tidak bisa langsung mendapatkan pelayanan dari dokter. Sudarsono malah diminta datang ke rumah sakit hari berikutnya untuk diperiksa oleh dokter. “Eh, pas ke dokter. Waktu periksa nggak sampai 10 menit. Cuma diliat-liat doang. Nggak dikasih obat atau apa gitu buat hilangin rasa sakit,” kisah Dwi.

Sudarsono hanya diminta untuk kembali lagi ke rumah sakit yang sama untuk pemeriksaan kedua. Barulah pada pemeriksaan dokter yang kedua ia diberikan obat.

Lantaran keluarga khawatir dengan kondisi sang ayah, akhirnya Sudarsono memutuskan berhenti menggunakan layanan BPJS Kesehatan. Atas kejadian ini, pihak keluarga tidak tinggal diam dan melayangkan surat pembaca lewat sebuah media massa.

“Dibalas tuh sama BPJS Kesehatan. Katanya dia akan tanya ke rumah sakit bersangkutan. Tapi ya sudah gitu doang,” kata Dwi.

Ibarat pepatah, ada uang abang disayang!

* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 20 November -26 November  2019. Artikel selengkapnya berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut:  "Klaim Tertunda Banyak yang Merana"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Mesti Sinaga