Upaya TBIG pangkas utang setinggi menara



JAKARTA. PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) akan menggali lubang baru untuk menutup lubang utang lama. Emiten operator menara telekomunikasi ini meraih pinjaman sindikasi perbankan sebesar US$ 1,3 miliar atau Rp 15,6 triliun. TBIG akan menggunakan fasilitas tersebut untuk refinancing atau membiayai kembali utangnya.

Perinciannya, pertama, TBIG meraih pinjaman berjangka dan revolving tanpa jaminan senilai US$ 1 miliar. Utang tersebut bertenor satu hingga lima tahun dengan bunga LIBOR +1,5% hingga 2% per tahun. Pinjaman berasal dari konsorsium beberapa bank asing, seperti Australia and New Zealand Banking Group, Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ, BNP Paribas, CIMB Bank Berhad.

Kemudian CTBC Bank Co Ltd, Credit Agricole, DBS Bank, Hong Kong Shanghai Banking Corporation, Overseas-China Banking Corporation, Sumitomo Mitsui Banking Corporation serta United Overseas Bank.


Kedua, TBIG juga memperoleh pinjaman revolving tanpa jaminan senilai US$ 300 juta. Direktur Keuangan TBIG, Helmy Yusman Santoso, mengatakan, pinjaman senilai total US$ 1,3 miliar itu merupakan program pendanaan TBIG. "Kami telah berhasil melakukan refinancing pinjaman dengan fasilitas pinjaman baru yang memiliki tingkat suku bunga kompetitif dan tanpa jaminan," ujar Hardi Wijaya Liong, Chief Executive Officer (CEO) TBIG, dalam siaran pers yang diterima KONTAN, Selasa (25/11).

Berdasarkan laporan keuangan kuartal ketiga tahun ini, TBIG mencatatkan pinjaman jangka panjang yang jatuh tempo dalam jangka waktu setahun ke depan sebesar Rp 4,77 triliun. Ada pula surat utang jangka pendek senilai Rp 547,65 miliar. TBIG juga mempunyai utang jangka panjang yang mencapai Rp 5,45 triliun dan surat utang jangka panjang Rp 3,8 triliun.

Gundukan utang TBIG memiliki utang senilai US$ 2 miliar yang meliputi sedikitnya sembilan seri. Utang tersebut adalah fasilitas pinjaman seri 1 senilai US$ 300 juta, pinjaman revolving seri 2 yakni senilai US$ 50 juta, pinjaman seri 3 sekitar US$ 200 juta. Kemudian pinjaman seri 4 senilai US$ 166,5 juta, pinjaman seri 5 mencapai Rp 1,49 triliun, pinjaman seri 6 sebesar US$ 190 juta, pinjaman seri 7 senilai Rp 592,38 miliar, pinjaman seri 8 yaitu US$ 215 juta serta pinjaman seri 9 yang sebesar Rp 1 triliun.

Selain itu, TBIG memiliki utang obligasi US$ 300 juta, yang jatuh tempo 3 April 2018. Ada pula obligasi Rp 740 miliar, meliputi seri A senilai Rp 550 miliar dan seri B sebesar Rp 190 miliar. Obligasi seri A jatuh tempo pada 22 Desember 2014 dan seri B jatuh tempo pada 12 Desember 2016.

Kepala Riset Asjaya Indosurya Securities William Surya Wijaya berpendapat, rasio utang atau debt to equity ratio (DER) TBIG cukup tinggi bila dibandingkan dengan emiten menara telekomunikasi lainnya.

Menurut William, keputusan menghimpun utang dollar Amerika Serikat di tengah tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menunjukkan, manajemen TBIG optimistis bahwa rupiah segera pulih. Maklum, utang dalam valuta asing bisa membebani laporan keuangan. Meski demikian, William memandang kinerja konsolidasi TBIG akan terus memancar.

Kenaikan harga BBM bersubsidi diprediksikan tak merontokkan bisnis menara. Dia bilang, permintaan terhadap menara telekomunikasi masih bagus karena permintaan masyarakat terhadap jasa telekomunikasi terus naik. William merekomendasikan buy TBIG dengan target harga Rp 10.400 per saham di tahun ini serta target Rp 14.000 pada tahun depan. Harga saham TBIG kemarin naik 1,08% menjadi Rp 9.300 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie