Upaya untuk Mendapat Eskalasi Terus Berlanjut



JAKARTA. Usaha untuk mendapatkan eskalasi dari pemerintah semakin serius dilakukan oleh penyedia jasa kontraktor yang tergabung dalam Asosiasi Konstruksi Indonesia (AKI) dalam menanggapi surat keputusan Menteri Keuangan sebelumnya yang menyatakan penolakan pemberian eskalasi kepada industri konstruksi di Indonesia.

Hingga saat ini sudah dilakukan langkah hukum melalui konsultan hukum Lembaga Penyedia Jasa Konstruksi (LPJK) berupa pendapat hukum dan sudah disampaikan ke Depkeu. Selain itu, AKI juga menyampaikan kekhawatiran jika kondisi ini terus berlangsung, maka proyek-proyek infrastruktur pemerintah terancam terhenti.

Dalam Diskusi Kebijakan Penyesuaian Harga Tahun Anggaran 2008, Jumat (29/8), Sudarto, Ketua AKI membeberkan sejumlah fakta yang menggambarkan kondisi kritis di mana kenaikan harga bahan material untuk konstruksi telah berlangsung sejak Januari lalu, bahkan tanda-tandanya sudah muncul pasca krisis minyak dunia, Desember tahun kemarin.


Gejolak harga minyak ini menyebabkan kenaikan harga BBM industri yang digunakan untuk jasa konstruksi sebesar 95,83% dalam jangka waktu satu tahun terhitung dari Juni 2007 hingga Juni 2008, sedangkan angka kenaikan dari awal tahun ini hingga Juni kemarin sebesar 51,36%.

Selain solar industri, bahan material lain yang naik adalah aspal curah yang naik dari tahun lalu sebanyak 34,14% dan naik 18,44% selama setengah tahun ini, beton naik sebesar 25,67% dari tahun lalu, naik 25,67% hingga pertengahan tahun ini, semen naik 25,6% dari tahun lalu dan yang paling besar kenaikannya dalam setahun terakhir adalah besi beton sebesar 104,93%, dan 41,75% untuk kenaikan setengah tahun.

Komponen-komponen ini adalah material pokok yang digunakan dalam jasa konstruksi, terutama untuk tiga proyek utama yakni pembangunan jalan, infrastruktur pengairan dan pembangunan gedung.

Wakil Ketua II AKI, Zali Yahya mengatakan bahwa data pasar ini masih selisih dengan data-data yang diperoleh BPS yang menyajikan angka 5-10% lebih kecil dari data lapangan milik AKI. Menurut Zali, hal ini karena data satu bahan material pada data BPS tidak spesifik, 

"Contohnya aspal beton yang jarang dipakai dalam industri tapi mengalami kenaikan harga juga," terang Zali. Meskipun demikian, data BPS-lah yang akan dipakai oleh para pengusaha jasa konstruksi ini sebagai acuan penyesuaian harga material, yang artinya kontraktor masih menanggung beban kerugian senilai selisih harga kedua data tersebut. Bagi para pengusaha ini, lebih baik menanggung kerugian sedikit daripada tidak ada kebijakan sama sekali.

Dikatakan lagi, kondisi parah juga dialami oleh lima anggota AKI yang sudah menjadi perusahaan publik seperti PT Adhi Karya Tbk, PT Wijaya Karya Tbk, PT Duta Graha Indah Tbk, Total Bangun Persada dan PT Jaya Konstruksi Manggala Tbk yang paling banter hanya memperoleh margin sebesar 2-3,5% per proyek. Direktur Adhi Karya, M.Fauzan juga menyatakan bahwa kesulitan ini membuahkan keterlambatan pengerjaan proyek pemerintah selagi pihaknya menunggu keputusan selanjutnya.

Adhi malah mulai melakukan penundaan bagi kontrak-kontrak baru akibat terlalu besarnya nilai kerugian yang harus ditanggung kontraktor jika terus menambah proyek baru. Jaya Konstruksi, yang memegang proyek pemerintah sebanyak 86% senilai Rp 800 miliar pun sementara ini masih berharap pada pernyataan Wapres Jusuf Kalla yang menyatakan dukungannya secara implisit dengan membentuk tim untuk memperhitungkan penyesuaian harga material, "Usulan kami hanya memberlakukan kebijakan eskalasi yang untuk tahun jamak ke proyek tahun tunggal juga," Zali, Direktur Jaya Konstruksi menambahkan.

Ternyata, kondisi ini bukan hanya dialami oleh kontraktor di Indonesia saja tetapi sudah melanda sebagian besar industri konstruksi di Asia Pasifik misalnya di Pasifik Barat, Hongkong dan Jepang. Namun industri konstruksi di negara-negara tersebut sudah mendapat eskalasi dari pemerintahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Test Test