Kebutuhan industri dalam negeri terhadap produk petrokimia masih tinggi. Sayangnya suplai produksi petrokimia lokal masih belum bertambah banyak. Akibatnya, impor petrokimia Indonesia tetap tinggi. Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) mencatat, lebih dari separuh kebutuhan petrokimia dalam negeri berasal dari impor. Impor masih di atas 55% dari suplai oleh industri lokal. Misal, permintaan produk petrokimia hulu yang meliputi polietilena (PE), polipropilena (PP), polistirena (PS) dan polivinil klorida (PVC) sepanjang tahun 2017 sebanyak 5,83 juta ton. Dari hampir 6 juta ton kebutuhan bahan baku petrokimia di dalam negeri tersebut, industri petrokimia di dalam negeri hanya mampu dipenuhi 2 juta ton. Sisanya harus impor, sehingga defisit transaksi berjalan sulit ditekan. Di tengah masih tingginya impor produk petrokimia, langkah sejumlah perusahaan meningkatkan kapasitas produksi, tentu sudah sudah tepat. Adapun, bagi pemerintah, salah satu pilihan yang dapat dilakukan agar impor produk petrokimia dapat ditekan, sehingga mampu menekan defisit, yakni memaksimalkan aset Tuban Petro sebagai basis pengembangan industri petrokimia nasional. Tuban Petro sendiri saat ini sahamnya mayoritas dimiliki oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemkeu).
Salah satu anak usaha Tuban Petro yang tepat untuk dikembangkan sebagai produsen petrokimia adalah Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Dari hasil kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), pengembangan Tuban Petro dan anak usaha secara optimal diyakini akan mampu mendorong industri turunan lain untuk semakin berkembang. Pengembangan Tuban Petro sebagai basis industri petrokimia nasional, juga akan mampu mengurangi impor sehingga akhirnya bisa menekan defisit neraca perdagangan. Komitmen pemerintah mengembangkan Tuban Petro Grup di bidang industri petrokimia sudah tepat. Karena produk petrokimia yang dihasilkan oleh Tuban Petro Grup yang merupakan industri hulu yang memegang peranan penting. Dengan pengembangan industri petrokimia, akan memacu pertumbuhan industri lain dan mampu memenuhi kebutuhan industri dalam negeri, sehingga dapat menurunkan ketergantungan impor. LPEM UI juga mencatat, petrokimia merupakan sektor yang mengalami pertumbuhan permintaan yang cukup tinggi, yaitu tumbuh sekitar 2% per tahun. Seiring dengan semakin membaiknya pertumbuhan ekonomi, permintaan akan terus meningkat. Apalagi produk turunan petrokimia digunakan dalam proses produksi, antara lain produk plastik, farmasi, dan tekstil. Potensi Kilang TPPI menjadi pusat pengembangan petrokimia sangat besar karena selain mampu memproduksi premium, solar, elpiji dan HOMC 92 (atau dikenal sebagai pertamax 92), juga dapat menghasilkan produk aromatik. Bahan-bahan turunan dimaksud antara lain, paraxylene, orthoxylene, benzene, dan toluene yang dibutuhkan oleh industri nasional. Sehingga, tak salah jika aset yang dimiliki oleh TPI merupakan bagian penting dan strategis bagi masa depan industri dasar petrokimia di Indonesia. LPEM UI juga mencatat, kegiatan ekspansi yang dilakukan TPPI akan berkontribusi terhadap perekonomian nasional ditandai dengan peningkatan pada nilai tambah perekonomian yang tercermin pada Produk Domestik Bruto (PDB), terutama dari sisi pendapatan rumah tangga, dan penciptaan lapangan kerja. Pengembangan industri petrokimia nasional sudah mendesak. Karena dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, Indonesia relatif tidak ada investasi besar-besaran di sektor industri petrokimia. Hal inilah yang mengakibatkan tingginya permintaan dan ketergantungan impor bahan baku petrokimia. Karena itu, rencana pemerintah mengembangkan Tuban Petro untuk mewujudkan industri petrokimia nasional yang kuat, dengan cara memaksimalkan semua potensi anak usahanya, terutama TPPI, layak mendapatkan dukungan. Apalagi, TPPI sejak awal dirancang sebagai komplek aromatic dan olefin yang terintegrasi. Kapasitas produksi TPPI yang selama ini hanya difungsikan untuk pengolah BBM, bisa ditingkatkan dengan memproduksi Benzene, Toluene dan Xylene (BTX). Produk ini sebagai bahan baku industri kimia dasar, tekstil, industri cat, dan lain-lain. Dengan mengoptimalkan kilang TPPI, produksi petrokimia bisa diperbesar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hasil produksinya juga bisa diekspor, sehingga dapat meningkatkan cadangan devisa. Dengan fakta ini, peran Tuban Petro akan sangat besar mendukung industri petrokimia nasional, sekaligus menekan defisit neraca transaksi berjalan Indonesia selama ini. Tentu saja, tak kalah penting, pengembangan industri petrokimia juga harus terintegrasi. Jika pasokan untuk bahan baku petrokimia berjauhan, maka tidak efisien. Untuk itu, rencana pemerintah membangun kilang di Tuban yang juga berdekatan dengan TPPI, sudah tepat. Kepastian pasokan bahan baku akan lebih terjamin. Agar hadir industri petrokimia terintegrasi, maka langkah paling tepat dan logis, yakni memaksimalkan aset Tuban Petro. Jika membangun dari awal, selain butuh modal besar, juga perlu waktu lama. Ingat, jangan sampai, Indonesia terus tertinggal dari Singapura, Malaysia, Thailand, yang sudah memiliki komplek petrokimia terintegrasi. Industri petrokimia terintegrasi yang terbangun di negara-negara tetangga, pada dasarnya untuk mendukung tujuan pasar mereka, yakni Indonesia. Karena itu, jika Indonesia tak segera memiliki industri petrokimia terintegrasi, hanya akan terus jadi pasar. Industri kemasan dan industri turunan lain makin tak kompetitif.
Dalam pengembangan Tuban Petro, harus ada persiapkan yang betul soal strategi industrinya. Sehingga, semua proses petrokimia dilakukan di satu tempat. Dengan demikian menjadi efisien. Untuk itu, perlu membuat kebijakan agar kilang-kilang yang ada di Indonesia, terintegrasi dengan industri petrokimia. Caranya, dengan mengolah minyak di kilang untuk menjadi nafta sebagai bahan baku industri Petrokimia.Agar terwujud, pemangku kebijakan, perlu memiliki visi lebih jauh, bahwa sumber daya alam (SDA) tak hanya diperlakukan sebagai komoditi.Tapi menjadisumber daya alam sebagai ujung tombak pembangunan nasional agar menggerakan seluruh sektor ekonomi.♦
Fahmy Radhi Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi