Urgensi kebijakan pajak pemerintah baru



Bulan Oktober 2019 mendatang, resmi sudah adanya pemerintahan baru dengan catatan presidennya sama, namun wakil presidennya baru. Demikian pula dengan para menteri yang akan duduk di kabinet nanti mungkin dengan wajah-wajah baru dan para wakil rakyatnya pun baru. Secara mendasar dapat dikatakan kita akan menyongsong "pemerintahan baru".

Tentunya sebagian besar rakyat senang menyambut pemerintahan baru tersebut. Kita sebagai rakyat menantikan hal ini, terutama menantikan kebijakan-kebijakan yang akan membawa manfaat besar untuk masyarakat.

Perbaikan ekonomi merupakan tantangan yang paling mendasar sehubungan dengan pemerintahan baru saat ini. Dan instrumen yang bisa mempengaruhi meningkatnya ekonomi makro adalah kebijakan perpajakan.


Peran perpajakan secara eksplisit diwujudkan dalam bentuk anggaran negara yang mengatur besarnya penerimaan dan pengeluaran negara. Peranan pemerintah ini penting karena mekanisme pasar tidak dapat memberikan solusi atas ketersedian barang publik, seperti pendidikan kesehatan dan infrastruktur bagi masyarakat. Atas alasan ini kegagalan pasar (market failure) merupakan alasan utama berkenan dengan perlunya peran pemerintah menunjang ketersediaan barang yang dibutuhkan publik.

Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sangat ditentukan oleh kemampuan anggaran karena ketersediaan anggaran yang besar akan memberikan kekuatan bagi pemerintah untuk mengalokasikan anggarannya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Peran pemerintah secara khusus dapat diarahkan pada penyediaan barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh pasar untuk mengatasi eksternalitas dan memerangi kemiskinan (ekonom Blomquist dan Wonnacot).

Anggaran negara saat ini paling banyak bersumber dari penerimaan pajak yang jumlahnya sekitar 80%, maka di perlukan penanganan yang baik di sektor ini agar dapat terciptanya pendapatan negara yang optimal.

Saat ini berdasarkan data penerimaan pajak yang didapat mencapai, realisasi penerimaan perpajakan sampai dengan Juli 2019 sebesar Rp 810,7 triliun. Khusus pajak, baru mencapai 44,7% atau sekitar Rp 705 triliun dari target Rp 1.577 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019.

Perluasan objek pajak

Teori ekonomi yang lain mengaitkan peran perpajakan dengan pajak yang dikenakan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, sehingga pengenaannya harus memperhatikan aspek kemampuan masyarakat dalam membayar pajak. Berangkat dari teori inilah ada wacana penurunan tarif wajib pajak badan (korporasi) dari 25% menjadi 20%.

Karena tarif PPh Badan di negara tetangga rata-rata berada di bawah tarif PPh di Indonesia. Misalnya di Vietnam 20%, Malaysia 24%, Brunei 18,5%, Thailand 20% dan Hong Kong 16,5%.

Wacana tentang merevisi Undang Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 juga mengemuka, beberapa tambahan objek pajak penghasilan rencananya juga dimasukan dalam beleid pajak penghasilan (PPh) itu, yang perluasannya ini mencakup harta warisan, dan hibah, laba ditahan yang tidak dibagikan dalam bentuk deviden dan tidak diinvestasikan selama dua tahun. Selain itu, juga pajak atas pembayaran premi asuransi kesehatan dan iuran jaminan kesehatan.

Demikian juga dengan pajak e-commerce yang tentunya sejalan dengan kondisi yang sedang booming saat ini karena di era revolusi industri 4.0 pemasaran berbasis digital kian marak dan memiliki potensi pajak yang cukup signifikan. Alangkah sayangnya jika kondisi ini tidak menjadi perhatian pemerintah untuk melakukan pemajakan terhadap sektor e-commerce.

Peraturan ini sendiri telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan pada tanggal 31 Desember 2019 tapi baru diberlakukan secara resmi pada 1 April 2019. Namun pelaksanaannya diundur sampai waktu yang belum pasti.

Mungkin di pemerintahan baru nanti akan ada kebijakan yang akan mengatur tentang pajak ini. Harapan bagi para pedagang yang berbasis offline (konvensional) agar memajaki juga para pedagang online agar adanya azas keadilan (equality) dalam hal pemajakan karena selama ini hanya pedagang berbasis konvensional yang terus diawasi.

Jika pajak e-commerce jadi dipajaki maka akan terjadinya pasar persaingan sempurna , yakni produsen dari pasar online dan offline samasama dikenakan pajak dan mereka memiliki peluang bersaing yang berimbang dimata produsen. Karena selama ini pedagang konvensional harus menanggung beban PPh dan PPN, sedangkan pedagang yang berbasis digital justru tidak kena.

Dapat disimpulkan rencana revisi Undang Undang Pajak Penghasilan Nomor 36/2008 tersebut untuk menurunkan tarif pajak badan (korporasi) dan melakukan perluasan objek pajak. Semua bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendorong laju pertumbuhan investasi yang mendorong pada kemajuan ekonomi.

Namun beberapa pemerhati pajak banyak yang tidak sependapat dengan rencana perluasan objek pajak. Misalnya soal pajak atas warisan dan hibah dari harta orang tua sedarah karena harta yang diwariskan dari orang tuanya tersebut sudah pernah dikenakan pajak. Jika dikenakan pajak kembali, mengandung unsur pajak berganda (double taxation).

Demikian halnya dengan tarif wajib pajak orang pribadi (individual tax rates) yang berlaku saat ini tarif nya adalah progresif. Yakni 5% untuk yang berpenghasilan dibawah Rp 50 juta per tahun, 15% dengan penghasilan Rp 50 juta sampai dengan Rp 250 juta, lantas 25% untuk berpenghasilan Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta, dan sebesar 30% bagi berpenghasilan di atas Rp 500 juta per tahun.

Tarif atas wajib pajak orang pribadi ini perlu dikaji ulang agar menjadi kompetitif dengan negara lain. Jika tarif wajib pajak orang pribadi turun maka "biaya pajak orang pribadi" akan menurun, sehingga daya beli masyarakat akan meningkat dan hal ini akan menggerakan sektor riil. Ini tentu bisa membawa dampak meningkatnya perekonomian masyarakat yang berimbas pada pajak atas konsumsi bisa terdongkrak naik.

Kita semua berharap ke depannya di pemerintahan yang baru nanti dapat terbentuk kebijakan yang sesuai harapan. Dari para investor, pembayar pajak orang pribadi dan terpenuhi anggaran belanja pemerintah. Sehingga fungsi budgeter dan reguler (sosial dan ekonomi) dari sebuah sistem perpajakan dapat tercapai. Kita pun sebagai rakyat akan memahami kondisi perpajakan saat ini, sehingga mematahkan kalimat terkenal Albert Einstein, "Memahami pajak adalah hal yang paling sulit dimengerti dunia ini".

Irwan Wisanggeni Dosen Trisakti School of Management

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi