Usul Janda Kaya Nikahi Pemuda Miskin, Solusi atau Gimik Politik?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Usulan pernikahan antara janda kaya dan pemuda miskin oleh Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta dari PKS, Suswono, memicu kontroversi serta mendapat kritikan luas.

Gagasan ini dinilai kurang relevan dalam mengatasi kemiskinan dan dianggap meremehkan permasalahan yang kompleks di Jakarta.

Tak hanya itu, pernyataan Suswono tersebut bahkan memicu pelaporan dugaan penistaan agama.


Ide ini pertama kali disampaikan Suswono pada 26 Oktober 2024, saat membahas program kartu anak yatim.

Baca Juga: Jangan Sampai Keliru, Ini 3 Jenis Surat Suara Pilkada 2024

Menurutnya, janda kaya bisa menikahi pemuda menganggur, seraya mencontohkan pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Khadijah.

"Setuju ya? Coba ingat Khadijah... konglomerat, nikahi siapa? Ya Nabi (Muhammad) waktu itu belum jadi Nabi, masih 25 tahun," ujar Suswono.

Pernyataan ini ditanggapi serius oleh Organisasi Masyarakat Betawi Bangkit, yang kemudian melaporkan Suswono ke Bawaslu atas dugaan penistaan agama.

Dalam laporan bernomor 012/PL/PG/Prov/12.00/X/2024, Suswono dianggap melecehkan Nabi Muhammad SAW dan Siti Khadijah dengan mengaitkan kisah mereka dalam konteks pernikahan janda kaya dengan pemuda miskin.

Pengamat politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin mengkritik usul Suswono tersebut sebagai gagasan yang tidak realistis.

"Tidak semudah itu dalam perjodohan. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan, termasuk kecocokan personal, bukan hanya status ekonomi," ujar Ujang dalam keterangannya, Rabu 913/11).

Ia menilai, gagasan pernikahan sebagai solusi kemiskinan terkesan simplistis dan tidak mempertimbangkan kompleksitas sosial-ekonomi.

Baca Juga: Pramono Anung Janjikan Rp 300 Miliar Suntikan Dana untuk Pedagang Tanah Abang

Selain itu, Ujang mempertanyakan dasar data dalam usulan ini. Tanpa data tentang jumlah janda kaya atau pemuda miskin di Jakarta, ia menilai gagasan ini hanya sekadar janji politik tanpa kajian mendalam.

"Jika tidak didukung data yang valid, ide ini hanya akan terlihat sebagai strategi politis tanpa dampak jangka panjang," tambahnya.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di Jakarta pada Maret 2023 mencapai 4,47 persen atau sekitar 492 ribu orang.

Kemiskinan di Jakarta tidak hanya berhubungan dengan kesenjangan ekonomi, tetapi juga kurangnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan.

Solusi kemiskinan seharusnya menyentuh akar masalah ini, bukan sekadar menggunakan pernikahan sebagai jalan pintas, jelas Ujang.

Ujang menyarankan agar fokus kebijakan lebih diarahkan pada program pemberdayaan ekonomi. Pelatihan keterampilan, dukungan usaha, atau pemberian modal usaha dinilai lebih efektif dalam meningkatkan kemandirian ekonomi.

Baca Juga: Begini Rekayasa Lalu Lintas Jelang Debat Pilkada DKI Jakarta 2024 untuk Hari Ini

"Masyarakat miskin membutuhkan solusi konkret, bukan sekadar wacana yang tidak berdasar," tegas Ujang.

Program yang hanya memberikan bantuan tanpa mendukung keterampilan jangka panjang dinilai tidak cukup untuk menciptakan kemandirian yang berkelanjutan.

Selain itu, menjadikan pernikahan sebagai alat untuk mengentaskan kemiskinan dikhawatirkan dapat merusak esensi pernikahan itu sendiri.

"Jika pernikahan tidak didasari kecocokan yang kuat, keluarga yang dibentuk malah rentan gagal, yang pada akhirnya memperburuk kondisi sosial ekonomi," tambah Ujang.

Ujang juga mempertanyakan apakah ide ini benar-benar bertujuan mengatasi kemiskinan atau hanya sebagai gimik politik yang bertujuan menarik perhatian.

Menurutnya, fokus kampanye lebih baik diarahkan pada peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin melalui penyediaan lapangan pekerjaan, akses pendidikan, dan fasilitas kesehatan.

Baca Juga: Elektabilitas Pramono Anung Mengungguli Ridwan Kamil di Survei Pilgub Jakarta

Penanganan kemiskinan di Jakarta memerlukan kebijakan yang berbasis data dan fokus pada penguatan ekonomi serta pemberdayaan masyarakat.

Mengandalkan pernikahan sebagai solusi dinilai tidak relevan dalam konteks struktur sosial dan ekonomi yang ada.

Ujang menekankan bahwa solusi yang dibutuhkan adalah solusi jangka panjang yang melibatkan pendidikan, pelatihan keterampilan, dan penciptaan lapangan kerja, bukan sekadar wacana pernikahan yang terkesan instan dan tidak berdampak struktural.

Selanjutnya: Menteri ESDM Susun Tiga Formulasi Penyaluran Subsidi Energi

Menarik Dibaca: 4 Resep Minuman Herbal untuk Melancarkan Haid, Aman dan Mudah Dibuat!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto