KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pihak mulai dari pengusaha hingga ahli menilai, perlunya evaluasi harga listrik panas bumi menjadi lebih tinggi. Pasalnya tarif yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022 belum cukup mengakomodasi keekonomian pengembangan pembangkit listrik panas bumi (PLTP) di Indonesia.
Ketua Indonesia Center for Renewable Energy Studies (ICRES) Surya Darma menyampaikan, tarif listrik PLTP yang diatur di dalam Perpres 112/2022 belum cukup menunjang keekonomian proyek.
Baca Juga: Pertamina Geothermal (PGEO) Memacu Kapasitas PLTP Pasalnya banyak faktor yang mempengaruhi investasi geothermal seperti risiko eksplorasi yang tinggi dan penyediaan infrastruktur yang menantang. Dia menyatakan, harga listrik dari pembangkit panas bumi jika mempertimbangkan skala kapasitas, infrastruktur, dan dukungan pemerintah, tarifnya bisa di atas US$ 10 cent per KWh. “Selain menyelesaikan aspek bisnis, pemerintah juga semestinya memberikan kepastian hukum dalam berusaha, menghilangkan pola negosiasi harga yang berkepanjangan sehingga tidak memberikan kepastian waktu,” ujarnya kepada
Kontan.co.id dikutip Minggu (11/2).
Hal yang sama juga dikemukakan Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API).
Baca Juga: Pelaku Usaha Panas Bumi Sambut Positif Rencana Pemerintah Revisi Target Bauran EBT “Perumusan harga patokan tertinggi (HPT) dalam Perpres 112/2022 belum menggunakan asumsi-asumsi yang tepat,” Sekretaris Jenderal Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), Riza Pasikki dihubungi terpisah. Di dalam Perpres 112/2022 tarif listrik panas bumi dipatok di bawah US$ 10 cent per KWh. Sebagai gambaran harga patokan tertinggi PLTP di tahun pertama hingga sepuluh tahun dengan kapasitas sampai dengan 10 MW senilai US$ 9,76 cent per KWh, sedangkan di atas 100 MW senilai 7,65 cent dolar per KWh. Secara umum, Direktur Utama Medco Power Indonesia, Eka Satria menyatakan dari sisi pengembang energi baru terbarukan (EBT) jika suatu industri bisa memberikan tingkat pengembalian (return) yang wajar, akan banyak investasi yang masuk.
Baca Juga: Begini Respon Pelaku Usaha Panas Bumi Soal Rencana Revisi Target Bauran EBT “Jadi masalah kami sederhana, keekonomian harga listrik sekarang ini bukan dengan harga keekonomian khususnya jika bersaing dengan harga listrik fosil yang saat ini masih disubsidi,” ujarnya dalam acara Arifin Panigoro Dialog VIII Refleksi 2023 & Outlook 2024: Energi Bersih dan Ekonomi Hijau Inklusif (27/12/2023).
Di sisi permintaan, saat ini pihaknya melihat sistem kelistrikan di Indonesia belum cukup siap dari segi teknologi dan jaringannya. Menurut Eka, skema penggunaan jaringan transmisi dan distribusi bersama (power wheeling) sangat penting untuk mendukung variable renewable energy (VRE) bisa berjalan.
“Tidak kalah penting lagi regulasi. Harapan kami Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) benar0benar dapat mendorong pengembangan EBT,” tandasnya.
Seperti diketahui, Medco telah mengoperasikan PLTP Sarulla dengan kapasitas 3x110 MW. PLN membeli listrik dari PLTP Sarulla senilai US$ 6,79 sen per kilowatt hour (KWh).
Baca Juga: Proyek Listrik Hijau PLN Terganjal TKDN Saat ini Medco juga dalam proses pembangunan fasilitas PLTP Ijen Tahap 1 dengan kapasitas 34 MW di Ijen, Jawa Timur. Diharapkan pembangkit ini akan beroperasi di tahun ini.
Dalam catatan di 2013, PLN telah menandatangani Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (
Power Purchase Agreement / PPA) untuk PLTP Ijen senilai US$ 8,58 cent per kWh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto