KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden terpilih Prabowo Subianto akan menghadapi tantangan besar terkait pembayaran utang pemerintah yang jatuh tempo pada tahun 2025, dengan jumlah mencapai Rp 800 triliun. Tahun 2025 hingga 2027 diperkirakan menjadi puncak dari jatuh tempo utang pemerintah. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Suminto menjelaskan bahwa pemerintah menarik utang untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Di mana guna memenuhi belanja prioritas yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat, seimbang, dan berkesinambungan.
Baca Juga: Rasio Utang Pemerintah Turun 38,68% pada Juli 2024 "Pandemi Covid-19 menuntut pemerintah untuk meningkatkan belanja dalam rangka penanganan isu kesehatan, perlindungan sosial, serta dukungan bagi dunia usaha, baik UMKM maupun korporasi," ujar Suminto kepada Konta.co.id, Minggu (25/8). Suminto menjelaskan bahwa melebarnya defisit APBN selama pandemi Covid-19 berimplikasi pada bertambahnya utang pemerintah. Rasio utang terhadap PDB (
Debt to GDP ratio) yang pada tahun 2019 masih sebesar 30,23% meningkat tajam menjadi 39,39% pada tahun 2020 dan 40,74% pada tahun 2021. Namun, seiring dengan konsolidasi fiskal, defisit APBN berhasil dijaga pada angka 2,35% pada 2022 dan 1,61% pada 2023, sehingga rasio utang terhadap PDB dapat ditahan pada level 39,70% di tahun 2022 dan 39,20% di tahun 2023. Suminto menambahkan bahwa nominal utang yang lebih besar berimplikasi pada meningkatnya belanja bunga utang. Realisasi belanja bunga utang dalam lima tahun terakhir terus meningkat, dari Rp 275,5 triliun pada tahun 2019 hingga mencapai Rp 439,8 triliun pada tahun 2023.
Baca Juga: Cadangan Pembiayaan Investasi RAPBN 2025 Melonjak, Ekonom Ungkap Potensi Penggunannya Anggaran belanja bunga untuk tahun anggaran 2024 diperkirakan sebesar Rp 497,3 triliun, dengan proyeksi realisasi mencapai Rp 498,9 triliun. "Tingginya utang yang akan jatuh tempo pada 2025 dan tahun-tahun berikutnya, antara lain disebabkan oleh Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan untuk pembiayaan pandemi Covid-19 yang mulai jatuh tempo," jelasnya. Suminto juga menjelaskan bahwa atas utang yang jatuh tempo, pemerintah akan melakukan
roll-over atau
refinancing, di mana investor melakukan penempatan kembali (
reinvestment) pada SBN yang diterbitkan pemerintah. Dalam konteks ini, persepsi pasar terhadap kinerja perekonomian sangat penting untuk memberikan kepercayaan kepada investor agar melakukan reinvestasi, sehingga risiko
refinancing dapat terjaga.
Baca Juga: Faisal Basri Prediksi Utang Pemerintah Bisa Membengkak Rp 10.000 Triliun Tahun Depan Pemerintah bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) terus melakukan upaya pendalaman pasar keuangan untuk meningkatkan daya serap pasar terhadap SBN. Upaya ini dilakukan melalui peningkatan literasi dan inklusi keuangan. "Pemerintah akan terus mengelola utang secara hati-hati, termasuk mengendalikan biaya bunga utang. Disiplin fiskal dan manajemen fiskal yang hati-hati akan mendukung pengelolaan utang pemerintah agar tetap dapat dikelola dengan baik. Perekonomian yang tumbuh kuat, didukung oleh penerimaan negara yang baik, belanja negara yang berkualitas, serta pembiayaan yang hati-hati, akan memungkinkan pemerintah untuk menjaga utang pada level yang aman dan terkendali," pungkas Suminto. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto