Utang lama dihapus, Dirgantara Indonesia positif Rp 617 miliar



JAKARTA. Sekali lagi, asa merekah bagi PT Dirgantara Indonesia. Utangnya akan segera lunas dan ekuitasnya kembali positif sehingga Dirgantara akan lebih bankable. Perusahaan pun mulai merancang bisnis ke depan.

Utang Dirgantara ke pemerintah sebesar Rp 1,57 triliun segera dikonversi menjadi penyertaan modal negara (PMN) nontunai. Selain itu, Dirgantara juga akan mendapat penyertaan modal berupa pengalihan barang milik negara senilai Rp 2,25 triliun tahun ini. Semua ini segera jadi kenyataan ketika terbit peraturan pemerintah yang mengatur hal itu tahun ini juga.

Dus, Dirgantara mendapat napas baru. "Ekuitas perusahaan akan menjadi positif Rp 617 miliar, sehingga Dirgantara menjadi bankable dan memenuhi persyaratan ikut tender," ujar Direktur Keuangan Dirgantara, Budiman Saleh, Jumat (14/10).


Tak hanya itu, Dirgantara bisa lebih mendapatkan kepercayaan dari para mitra bisnisnya. Sebelumnya, ekuitas perusahaan selalu negatif. Maklum, rapor perusahaan yang dulunya tenar dengan nama IPTN ini selalu merah karena akumulasi beban utang di masa lalu.

Sebelumnya, Dirgantara sempat berharap konversi utangnya selesai di tahun 2009. Tapi, hal itu tak terjadi. Keuangan perusahaan itu terus berdarah-darah dan kekurangan modal kerja di tahun 2010. Alhasil, Dirgantara membatasi penambahan kontrak baru.

Tapi, dengan restrukturisasi neraca keuangan, Dirgantara mulai membangun bisnisnya lagi. Selain dari PMN, tahun ini, Dirgantara juga mendapat suntikan dana talangan dari PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) senilai Rp 675 miliar. "Ini untuk menutupi defisit cash flow 2011," imbuh Ramon Suyadi, Kepala Divisi Perencanaan Dirgantara.

Napas baru Dirgantara

Tahap selanjutnya, Dirgantara akan memasuki fase restrukturisasi, stabilisasi, dan pengembangan. PPA akan membantu Dirgantara menyusun model dan rencana bisnis jangka panjang. "Tahun depan, kami mengajukan PMN tunai senilai Rp 2,05 triliun sebagai modal kerja. Semoga dikabulkan," kata Ramon.

Tahun ini, Dirgantara meraih nilai kontrak Rp 2,4 triliun dan sudah terealisasi Rp 1,2 triliun. Kontrak yang sedang berjalan misalnya produksi dua unit pesawat militer CN235 Surveillance untuk Korea Selatan, tiga unit CN235 Patrol Maritime untuk TNI Angkatan Udara, dan satu unit C212-400 untuk Thailand. “Itu yang harus kami selesaikan tahun ini juga,” ujar Budiman.

Dirgantara juga memperdalam kemitraan dengan Airbus Military. Perusahaan yang dahulu bernama CASA itu telah menjadi rekan bisnis Dirgantara sejak tahun 1976 untuk mengembangkan produksi pesawat NC212 dan CN235.

Sekarang, Airbus Military akan memberi bimbingan teknis dan kinerja selama satu hingga dua tahun, serta membantu penjualan pesawat ke luar negeri, khususnya di luar ASEAN.

Menurut Budiman, dibandingkan Boeing, Lockheed Martin, dan Finnmeccanica, Airbus Military memiliki catatan keberhasilan revitalisasi di tahun 1992 dengan dukungan pemerintah Spanyol.

Pengamat industri penerbangan Dudi Sudibyo bilang, kemitraan dengan Airbus Military akan mendorong Dirgantara menjadi perusahaan penerbangan yang bisa sejajar dengan perusahaan penerbangan di Eropa.

Apalagi, kata Dudi, beberapa tenaga ahli produksi pesawat dari Airbus sudah terjun langsung ke Bandung untuk memberikan bimbingan teknis dalam memproduksi pesawat dengan cepat.

Sebaliknya, sejumlah tenaga ahli Dirgantara juga sudah belajar langsung ke pabrik Airbus di Spanyol. “Airbus itu bisa memproduksi satu pesawat dalam satu hari, sedangkan selama ini, Dirgantara hanya mampu memproduksi satu sampai dua pesawat dalam satu tahun,” ujar Dudi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.