Utang menumpuk, Toys R Us terancam bangkrut



KONTAN.CO.ID - Bisnis perusahaan mainan tengah tertekan. Sebelumnya Lego Group mengumumkan penurunan penjualan dan mengurangi ribuan pekerjanya. Kali ini, Toys R Us terancam bangkrut dan kesulitan melunasi utangnya.

Raksasa mainan asal Amerika Serikat (AS) ini mengumumkan penjualan yang turun pada paruh pertama tahun ini di seluruh dunia. Toys R Us tidak kuasa melawan penjualan mainan eceran dari Amazon.com atau bersaing dengan diskon yang ditawarkan toko di Wal Mart.

Meski memiliki distribusi besar yakni 900 toko di AS serta 600 toko di luar negeri termasuk Inggris, namun rupanya hal tersebut justru membawa beban bisnis Toys R Us. Analis GlobalData, Neil Saunders mengatakan pasar mainan telah mendapat tekanan cukup lama atas kondisi ini. Menurut Saunders, margin Toys R Us telah diperas oleh diskon yang dijajakan pesaingnya khususnya pada hari libur.


Apalagi, Toys R Us memiliki masalah utang yang menggunung hingga US$ 5 miliar dan sebagian harus dilunasi atau dibiayai kembali pada 2018. "Untuk membayar bunganya saja cukup sulit. Namun saat ini adalah era belanja internet yang tidak bisa dilawan," kata Saunders seperti dikutip Guardian.

Perusahaan makin sengsara dengan sejumlah vendor yang menuntut pelunasan atas mainan yang ada di toko. Bloomberg melaporkan bahkan vendor telah mengurangi pengiriman mainan mereka ke Toys R Us.

Mengatasi persoalan tersebut Toys R Us telah bekerja sama dengan bank investasi untuk menilai opsi US$ 400 juta dalam bentuk utang dengan jatuh tempo tahun depan. Sebelumnya, ada juga pertimbangan untuk mengajukan kepailitan Pengadilan Kepailitan AS di Richmond, Virginia.

Kiamat bisnis ritel

Lego dan Toys R Us tidak sendirian menghadapi masa-masa sulit. Sejumlah pebisnis ritel di AS seperti Macy's, Sears, J.C Penney, dan Kmart juga telah menutup sejumlah tokonya pada tahun 2017.

Penutupan toko terjadi karena tidak mampu melawan gempuran belanja online dan analis menyebut sebagai kiamat dari bisnis ritel. Diperkirakan ada 110.000 pekerjaan ritel yang hilang pada tahun 2017.

Hedley Barnes, General Manager Spin Master, perusahaan mainan asal Kanada memperkirakan, masa depan bisnis mainan tidak lagi berada di toko. Tumbuh di era internet, anak menghibur diri dengan video lewat YouTube dan Netflix. "Anak-anak saat ini adalah generasi digital. Mereka memiliki imajinasi lebih besar dalam memilih konten dan aplikasi," terang Barnes.

Jumlah toko mainan di Inggris pun menurun hingga 6%. Bahkan efek Brexit dapat menambah jumlah toko yang tutup. Sebab biaya impor mainan makin tinggi.

Meski begitu, peran toko mainan tetap ada karena masih dianggap menyenangkan bagi anak-anak. Seperti pada saat perayaan Natal, anak-anak menunggu hadiah mainan dari keluarganya.

Editor: Dessy Rosalina