KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom senior Faisal Basri menyebutkan, utang pemerintah pada tahun pertama kepemimpinan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berpotensi tembus Rp 10.000 triliun. Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), posisi utang pemerintah telah mencapai Rp 8.502,7 triliun sampai dengan akhir Juli 2024. Angka itu masih berpotensi bertambah sampai dengan akhir tahun 2024, sebab berdasarkan perhitungan outlook pemerintah, pembiayaan anggaran lewat utang sampai dengan akhir tahun ini mencapai Rp 553,1 triliun.
Sementara berdasarkan data APBN KiTa, realisasi penarikan utang pemerintah baru mencapai Rp 253 triliun sampai dengan akhir Juli 2024. Baca Juga: BI Proyeksi Defisit Neraca Transaksi Berjalan pada Kuartal II 2024 Rendah "Kalau kita liat sampai akhir tahun ini berdasarkan rencana berutangnya Rp 8,7 kuadriliun," kata Faisal, dalam sebuah webinar, Rabu (21/8/2024). Adapun pada tahun depan, berdasarkan dokumen Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, pemerintah bakal melakukan pembiayaan utang sebesar Rp 775,9 triliun. Namun, Faisal bilang, pemerintah di bawah pimpinan Prabowo bisa saja melakukan penarikan utang yang lebih besar nantinya, guna mengkaselerasi belanja prioritas, sehingga posisi utang pemerintah tembus Rp 10.000 triliun. B "Kemungkinan (utang pemerintah) bisa Rp 10 kuadriliun, digenapin deh Rp 10 kuadriliun, tanggung, kata Prabowo gitu," ujar dia. Baca Juga: Penerbitan SBN di 2025 Direncanakan Naik 42,2% Jadi Rp 642,56 Triliun "Misal ingin akselerasi makanan bergizi lebih cepat, bisa saja dilaksanakan itu," sambungnya. Faisal pun menyoroti perkembangan utang pemerintah, yang telah melonjak lebih dari tiga kali lipat dalam kurun waktu satu dekade kepemimpinan Jokowi. Ia menyadari, rasio utang pemerintah masih berada di kisaran 38% terhadap produk domestik bruto (PDB), dan di bawah batas ketentuan yang berlaku, yakni 60% terhadap PDB. Akan tetapi, besarnya outstanding utang pemerintah membuat kebutuhan belanja bunga dan cicilan utang kian membengkak setiap tahunnya. Akibatnya, kemampuan pemerintah untuk melakukan belanja yang dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat, seperti belanja modal dan bantuan sosial, semakin rendah. Baca Juga: Harapan Dunia Usaha Terhadap Pemerintahan Prabowo-Gibran