JAKARTA. Utang baru yang ditarik pemerintah dinilai tidak berdampak terhadap perekonomian, karena hanya digunakan untuk membayar utang lama yang jatuh tempo. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya menggunakan potensi sisa anggaran akhir tahun untuk menutup utang jatuh tempo dan tidak menarik utang baru. Demikian diungkapkan pengamat keuangan negara dari Koalisi Anti Utang Dani Setiawan. "Masalah defisit anggaran terus berulang setiap tahun, di mana realisasi lebih rendah dari yang direncanakan. Praktek semacam ini tentu semakin membebani perekonomian dengan utang-utang baru," tegasnya, Senin, (3/1). Pada 2010, realisasi defisit anggaran tercatat sebesar Rp 38,7 triliun atau 0,62 persen terhadap produk bruto (PDB). Jauh lebih rendah dibandingkan rencana dalam anggaran negara yang sebesar 133,7 triliun rupiah atau 2,1 persen terhadap PDB.
Defisit anggaran, lanjut Dani, dinilai hanya untuk membiayai utang yang jatuh tempo. "Ada kebutuhan pembayaran utang lama. Dalam periode 2005-2011, pembayaran cicilan pokok dan bunga utang mencapai Rp 1.106 triliun dan pada 2011 pembayaran utang mencapai Rp 247 triliun," paparnya. Pembayaran utang jatuh tempo, tambah Dani, harus dipenuhi secara ketat. "Ini menyebabkan utang-utang baru diarahkan untuk membayar utang lama. Jadi tidak aneh kalau pemerintah enggan menurunkan target defisit, karena utang jatuh tempo meningkat," katanya. Dengan kondisi tersebut, menurut Dani, maka praktis utang dan defisit anggaran tidak berfungsi sebagai stimulus ekonomi. "Stimulus dari defisit tidak terjadi. Justru yang ada hanya tambahan beban utang untuk masa mendatang," tegasnya. Untuk mengurangi penarikan utang, kata Dani, sebaiknya pemerintah memanfaatkan sisa kelebihan pembiayaan. Pada 2010, pemerintah membukukan kelebihan pembiayaan atau Saldo Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) sebesar Rp 47,2 triliun. "Silpa dari APBN tahun sebelumnya bisa untuk menambal defisit sehingga target penarikan utang bisa ditekan. Namun selama ini kelebihan pembiayaan tidak mengurangi utang," kata Dani. Sementara itu Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, realisasi defisit yang di bawah target bukan disebabkan oleh rendahnya belanja negara. Hingga akhir 2010, realisasi belanja negara adalah sebesar Rp1.053 triliun, atau 93,5 % dari pagu. "Dalam empat tahun terakhir, belanja negara 2010 adalah yang tertinggi. Jadi defisit yang lebih rendah bukan karena banyak yang tidak dibelanjakan, tetapi penerimaan yang meningkat," tegas Hatta. Pada 2010, realisasi penerimaan negara adalah sebesar Rp 1.014 triliun (102 persen).