KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah pada Juli 2023 sebesar Rp 7.855,53 triliun, dengan rasio mencapai 37,78% terhadap PDB. Posisi utang tersebut naik tipis 0,64% jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai Rp 7.805,19 triliun. Sementara itu, Kemenkeu menyatakan rasio utang pada Juli 2032 menurun jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 37,93%. “Rasio utang ini juga turun dari posisi Desember 2022 sebesar 39,70% (LKPP),” tutur Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto kepada Kontan.co.id, Jumat (18/8).
Baca Juga: Kemenkeu akan Dorong Belanja Berkualitas, Demi Kejar Target Pertumbuhan Ekonomi 2024 Komposisi utang pemerintah didominasi oleh utang domestik, yaitu 72,42%. Sementara berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah mayoritas berupa Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai 88,92%. Posisi SBN mencapai Rp 6.985,2 triliun, terdiri dari SBN domestik Rp 5.663,46 triliun dan valuta asing (valas) Rp 1.321,7 triliun. Sementara itu, pembiayaan utang melalui pinjaman mencapai Rp 870,3 triliun, terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 25,2 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 845 triliun. Suminto menyampaikan, pemerintah terus mengelola utang dengan sangat hati-hati dan akuntabel. Sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Negara, utang Pemerintah dijaga maksimal 60% dari PDB dan defisit APBN maksimal 3% dari PDB. Dia membandingkan, rasio utang terhadap PDB Indonesia sebesar 37,78% per Juli 2023 tergolong rendah di antara negara-negara peers, sebagai contoh Malaysia 60,4%, Filipina 60,9%, Thailand 60,96%, Argentina 85%, Brazil 72,87%, dan Afrika Selatan 67,4%. Selain itu, Pemerintah juga menjaga risiko portofolio utang dengan baik, yang lebih mengandalkan penerbitan utang dalam Rupiah, yang mana per akhir Juli 2023 sebesar 72,4% outstanding utang dalam mata uang Rupiah. Rata-rata jatuh tempo utang Indonesia juga cukup panjang yaitu 8,15 tahun. Dalam rangka mendukung pembiayaan domestik, Pemerintah terus melakukan upaya-upaya pendalaman pasar keuangan, baik melalui literasi maupun inklusi keuangan. Dengan pasar keuangan domestik yang lebih dalam dan basis investor domestik yang lebih luas akan memperkuat ketahanan (resilient) dan stabilitas pasar dalam negeri. “Pengelolaan makro ekonomi dan fiskal Indonesia, termasuk pengelolaan utang mendapatkan apresiasi dari pasar dan investor. Hal ini terlihat dari hasil asesmen lembaga-lembaga pemeringkat kredit utama, termasuk R&I yang pada tanggal 25 Juli 2023 mengafirmasi rating Indonesia BBB+ dan menaikkan outlook menjadi positif,” jelasnya. Lebih lanjut, Suminto menjelaskan, utang adalah salah satu instrumen dalam pengelolaan keuangan dalam membiayai APBN untuk mencapai tujuan pembangunan. Utang dilakukan untuk membiayai prioritas pembangunan yang tidak bisa ditunda, menjaga momentum pertumbuhan, dan menghindari
opportunity loss. Pengadaan utang dilakukan dengan filosofi utang sebagai alat, bukan tujuan. Agar utang optimal, penarikan utang dilakukan secara terukur dan terencana dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Baca Juga: Nyaris Tembus Rp 500 Triliun, Pembayaran Bunga Utang Tahun 2024 Melonjak Utang difokuskan untuk memaksimalkan aktivitas perekonomian dan kesejahteraan rakyat dan disalurkan untuk belanja prioritas seperti infrastruktur dan sumber daya manusia seperti di bidang Pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan berbagai penelitian, diyakini bahwa investasi di bidang pendidikan akan menghasilkan
return sekitar 22%, sementara itu di bidang infrastruktur akan menghasilkan
return sekitar 20%. “Tentunya ini semua dalam rangka mendukung transformasi Indonesia menuju negara maju,” imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi