Utang sebagai semangat zaman



Bukan cuma makanan, utang pun kini juga cepat saji. Money at your finger tip makin menjadi kebiasaan teknologi finansial (tekfin) masyarakat. McDebt sebutlah begitu, meminjam nama gerai restoran cepat saji. Dalam bahasa politik, nasabah post truth lebih berani dan permisif berutang dibandingkan dengan masyarakat di masa lalu. Keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam memutuskan berutang dibanding kesepakatan komunitas.

Dulu, jika orang tidak punya uang, mereka memilih menahan beli kebutuhan-keinginan. Berutang dipandang aib, kalah, tidak merdeka, budak, dan buruk. Komitmen menabung di celengan ayam lebih jadi pilihan sampai jumlah yang bisa membiayai kebutuhan-keinginan itu. Milenial bisa jadi lebih percaya diri dan teraduk emosi (why not, apa salahnya, kapan lagi, mumpung ada kesempatan), tak heran moneylenials menyambut dengan tangan terbuka utang cepat saji tersebut untuk Kebutuhan-keinginan yang harus diwujudkan sekarang.

Utang cepat saji menjadi cara instan tanpa harus mempertimbangkan kesepakatan komunitas ihwal utang yang biasanya merujuk pada nilai-nilai budaya dan agama. Sekularisasi finansial berupa utang cepat saji menjadi keniscayaan baru. Ia menjadi semangat zaman, tepatnya jiwa zaman (the spirit of the age).


Adalah William Hazlitt (1778-1830) Puritan Inggris dalam buku klasiknya The Spirit of the Age yang juga disebut Contemporary Portraits. Isinya kumpulan tulisan 25 tokoh yang diakui sebagai a vivid panorama of the age yang berusaha memotret isu-isu yang menjadi tren pada zamannya.

Isu berharga, penting dan menjiwai hidup masyarakat. Baik berupa ide-ide pemikiran, karya literatur dan seni, kebijakan politik, reformasi sosial, keputusan ekonomi, pedang hukum.

Dari tokoh lintas profesi, pemikir, pembaharu masyarakat, politisi, penyair, esais, novelis, ahli hukum, sejarawan, anggota parlemen, petani, sampai rohaniawan. Nama-nama Bentham, Godwin, Malthus, Irving, Wilberforce, Coleridge, Wordsworth dan banyak lagi. Sejak itu frase spirit of the age atau jiwa zaman jadi populer.

Kini istilah tersebut bermakna bebas sebagai apa yang paling dicari, diperebutkan, dipuja meski otomatis juga pasti menciptakan polemik, pro-kontra. Semangat zaman adalah tren apa saja yang tidak boleh ketinggalan untuk diikuti, dimiliki, dinikmati. Berada dalam euforia, lingkungan dan pengaruh semangat zaman dirasakan sebagai sebuah prestasi, kemajuan, kekinian. Di luar semangat zaman hanya ada keterbelakangan, kuno, stagnasi, mundur dan akan tergilas oleh roda.

Mesin finansial?

Apa makna itu semua ? Menjadi nasabah post truth berarti harus terhubung, terkait, pendeknya menjadi relevan, trendiness. Dalam banyak hal yang dipandang sebagai kebaruan, kemajuan, diakui banyak orang dan dunia. Euforia ini memposisikan ide kerelevanan menjadi kultus dan berlaku prinsip absolutely on top of all the trends, the latest is the greatest (Os Guinness, 2019). Berlaku penolakan masa lalu, sebaliknya memuja kekinian (idolize the present). Setiap muncul yang baru selalu dianggap paling benar.

Perubahan bermakna tunggal yakni kemajuan. Change or die alias berubah atau mati jadi kata pemujanya. Temuan tekfin sebagai altar baru ekonomi membawa banyak manfaat, memberi terobosan yang tak terbayangkan, tapi justru sifat kebaruannya inilah belum memperlihatkan kemungkinan risiko dan kelemahannya.

Dalam pesta utang cepat saji entah paket hemat ratusan ribu rupiah sampai puluhan-ratusan juta rupiah, moneylenials baik yang menjajakan begitu pun yang menikmati perlu bersikap terbuka. Dalam bahasa teologi, mencurigai adanya kemungkinan niat buruk bahkan pada setiap motif terbaik sekalipun entah sebagai penjaja atau nasabah. Seperti selalu waspada dalam proses, mekanisme koreksi dan perlindungan terhadap dampak buruk yang biasanya timbul belakangan. Kasus kisruh tekfin tuandai.com di China bisa jadi pelajaran.

Rasio kredit bermasalah tekfin terus naik, soal tekfin legal dan ilegal menciptakan ketidakpastian, atau jadi area abu-abu. Ditengah nasabah post truth dengan yakin dan emosinya berutang mandiri lewat gawai.

Kita tidak bisa hanya menghimbau masyarakat perlu waspada, hati-hati, cerdas, mengukur diri. Logikanya terbalik, justru nasabah yang kurang waspada, tidak hati-hati, tidak cerdas, dan tidak mengukur diri. Makanya, nasabah yang paling potensial jadi sasaran empuk. Semua pemangku kepentingan harus mengambil peran dan tidak hanya melemparkan keputusan dan risiko pada euforia massa yang cenderung irasional, belum merata melek finansial bahkan buta resiko.

Kebaruan apapun harus disikapi dengan hati-hati, jika tidak mau menjadi kelinci percobaan yang meminta korban karena secara alamiah memang begitu. Kebaruan berproses oleh waktu dan dinamikanya. Ia bersentuhan dengan banyak faktor dan variabel sehingga apakah ia tetap menjadi baik seperti niat semula atau justru menciptakan ekses buruk di kemudian hari.

Inilah proses uji sampai pada titik tertentu sebuah produk bisa menjadi semangat zaman, menjadi jiwa zaman masyarakatnya. Teruji sempurna barulah ia memberikan manfaat penuh dan berkelanjutan. Dalam konteks ini menjadi roh ekonomi masyarakatnya yang sudah teruji dalam banyak hal, seperti membakukan cara operasi, prinsip kerahasiaan, adil, profit dan manfaat bagi pemenuhan kebutuhan-keinginan masyarakat.

Ada pula soal kemudahan, penyelesaian konflik, mengutamakan bisnis kepercayaan dan jauh dari obsesi utang kompulsif pada nasabah pun semangat menagih utang pada pemberi pinjaman. Jika tidak melalui proses metamorfosis produk seperti itu, kita melangkah dalam aktivitas yang cenderung gegabah.

Misalnya ironi tren yang membutakan mata, pengkultusan pada semua apa yang dirasakan relevan, kekinian dan pokoknya dianggap jiwa zaman harus diadopsi, telan mentah-mentah, seolah-olah kita dengan mudah tahu masa depan dengan hanya menempelkan telinga di tanah. Sah-sah saja orang menciptakan hal baru dan membawa perubahan.

Tapi, tidak setiap perubahan mutlak relevan buat semua orang, masyarakat atau bangsa. Tidak setiap perubahan relevan di masa sekarang tapi bisa pula relevan di kemudian hari. Dalam pengkultusan semua yang relevan harus diadopsi, menjadi ketinggalan zaman bermakna celaka. Padahal aware of the unfashionable justru langkah pertama menjaga jarak sehingga bisa mengkritisinya.

Pepatah mengatakan keburukan selalu datang di urutan terakhir. Bahkan lebih ekstrim lagi meminjam bukan cuma mengkritisinya tapi perlu cara berpikir menolak (resistance thinking) untuk menjaga jarak sampai rem mendadak apa saja yang menjadi tren.

Tujuannya bukan untuk menolak mentah-mentah, tapi menguji keandalan tekfin sebagai jiwa zaman yang mempengaruhi masyarakat dengan banyak kebaikan. Buat apa produk ekonomi menjadi jiwa zamannya, jika membawa lebih banyak keburukan.♦

Stevanus Subagijo Peneliti Center for National Urgency Studies Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi