JAKARTA. Porsi utang luar negeri Indonesia pada sektor swasta kian meningkat. Posisi utang swasta ini akan memberikan beban bagi rupiah. Kepala Ekonom BII Juniman berpendapat utang swasta yang terus menanjak naik ini akan membuat permintaan terhadap dolar semakin tinggi. Akibatnya tekanan terhadap rupiah akan terjadi dan ini akan membuat permasalahan baru bagi kinerja rupiah. Karena itu perlu ada langkah tegas dari pemerintah dan BI untuk mengerem laju utang swasta. Menurutnya, tahun ini utang jatuh tempo korporasi mencapai US$ 40 miliar. Kalau pembayaran utang jatuh tempo tersebut dilakukan dalam bentuk tunai tentu akan membuat rupiah melemah. Sedangkan apabila dibayar dengan menerbitkan utang kembali tidak akan berpengaruh terhadap rupiah. Juniman sendiri memperkirakan rupiah hingga akhir bulan Juni berada pada kisaran 11.500 dan berada pada level 11.800 pada akhir tahun. Pelemahan ke level 11.800 terjadi apabila pasar tidak menanggapi positif hasil pemilu. Di sisi lain, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual berpendapat utang luar negeri swasta memang agak sulit diredam karena menyangkut ekspansi bisnis. Korporasi mempunyai pertimbangan masing-masing untuk berutang. Menurut David, tekanan terhadap rupiah akan muncul apabila ekspansi atau usaha yang dilakukan si korporasi tidak berhasil karena ada risiko macet. Kalau korporasi menerbitkan utang sebenarnya justru menambah pasokan valas. Perkiraannya, fundamental rupiah berada pada level 11.500. Sebagai informasi, data terakhir Bank Indonesia (BI) mencatat posisi utang luar negeri pada bulan Februari sebesar US$ 272,1 miliar. Swasta memberikan porsi 52,58% dari total utang yang sebesar Rp 143,07 miliar. Terakhir, porsi swasta ini pada bulan Maret meningkat menjadi US$ 146 miliar. Nilai US$ 146 tersebut bertumbuh 12,2% dibanding Maret tahun lalu. Ke depan posisi utang swasta akan kembali melesat. Pasalnya, tahun ini PT Pertamina akan kembali mengeluarkan surat utang alias obligasi untuk keperluan pembiayaan investasi ladang minyaknya.
Utang swasta meningkat, Rupiah kian tertekan
JAKARTA. Porsi utang luar negeri Indonesia pada sektor swasta kian meningkat. Posisi utang swasta ini akan memberikan beban bagi rupiah. Kepala Ekonom BII Juniman berpendapat utang swasta yang terus menanjak naik ini akan membuat permintaan terhadap dolar semakin tinggi. Akibatnya tekanan terhadap rupiah akan terjadi dan ini akan membuat permasalahan baru bagi kinerja rupiah. Karena itu perlu ada langkah tegas dari pemerintah dan BI untuk mengerem laju utang swasta. Menurutnya, tahun ini utang jatuh tempo korporasi mencapai US$ 40 miliar. Kalau pembayaran utang jatuh tempo tersebut dilakukan dalam bentuk tunai tentu akan membuat rupiah melemah. Sedangkan apabila dibayar dengan menerbitkan utang kembali tidak akan berpengaruh terhadap rupiah. Juniman sendiri memperkirakan rupiah hingga akhir bulan Juni berada pada kisaran 11.500 dan berada pada level 11.800 pada akhir tahun. Pelemahan ke level 11.800 terjadi apabila pasar tidak menanggapi positif hasil pemilu. Di sisi lain, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual berpendapat utang luar negeri swasta memang agak sulit diredam karena menyangkut ekspansi bisnis. Korporasi mempunyai pertimbangan masing-masing untuk berutang. Menurut David, tekanan terhadap rupiah akan muncul apabila ekspansi atau usaha yang dilakukan si korporasi tidak berhasil karena ada risiko macet. Kalau korporasi menerbitkan utang sebenarnya justru menambah pasokan valas. Perkiraannya, fundamental rupiah berada pada level 11.500. Sebagai informasi, data terakhir Bank Indonesia (BI) mencatat posisi utang luar negeri pada bulan Februari sebesar US$ 272,1 miliar. Swasta memberikan porsi 52,58% dari total utang yang sebesar Rp 143,07 miliar. Terakhir, porsi swasta ini pada bulan Maret meningkat menjadi US$ 146 miliar. Nilai US$ 146 tersebut bertumbuh 12,2% dibanding Maret tahun lalu. Ke depan posisi utang swasta akan kembali melesat. Pasalnya, tahun ini PT Pertamina akan kembali mengeluarkan surat utang alias obligasi untuk keperluan pembiayaan investasi ladang minyaknya.