JAKARTA. Para kontraktor perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang saat ini kena cekal dirjen imigrasi sengaja tidak membayarkan royalti kepada negara karena menganggap pemerintah tidak melaksanakan salah satu butir kesepakatan dalam perjanjian PKP2B generasi I. Kronologis itu diungkapkan oleh Dirjen Kekayaan Negara Departemen Keuangan Hadiyanto. "Jadi menurut kita, debitur sebaiknya bayar dulu lunas. Bahwa mereka punya klaim kepada negara silakan diajukan tersendiri, karena bukan satu dua kali pemerintah menghormati keputusan pengadilan untuk membayar kepada pihak ketiga," kata Hadiyanto di Jakarta, Rabu (6/8). Hadiyanto menjelaskan kalau pemerintah harus membayar apa yang menjadi klaim para pengusaha tersebut, maka mekanismenya harus melalui APBN termasuk departemen mana yang mengelolanya. Pemerintah juga harus melengkapi dokumen-dokumen, bukan serta merta seperti keinginan pengusaha. Pencekalan ini baru sekarang dilakukan, karena pemerintah harus melakukan penelitian sebelum eksekusi dilaksanakan. Pemerintah melihat dan mempertimbangkan berbagai hal termasuk kepentingan penerimaan APBN yang sulit akibat penjualan properti BDL yang belum memenuhi harapan. "Kita menggali berbagai potensi yang bisa segera menghasilkan penerimaan, ternyata ada ini. Kita putuskan untuk pencegahan agar para penanggung utang dimaksud dapat menjalankan tanggungjawab utangnya kepada negara," papar Hadiyanto. Menurut Hadiyanto, beberapa direksi memang saat ini telah tidak lagi menjadi pengurus dalam perusahaan yang sama. Namun tetap dikenakan pencekalan, karena nama-nama pengurus yang dicekal berdasarkan dokumentasi yang diserahkan Departemen ESDM ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). "Kami selaku pengurus piutang melaksanakan apa yang diserahkan oleh Departemen ESDM. PUPN Jakarta sudah melakukan pengecekan baik kepada PT yang bersangkutan maupun kantor imigrasi dari nama-nama dan alamat tepatnya," katanya. Menurut Hadiyanto, pemerintah akan melihat progres perkembangan penyelesaian utang ini. Hadiyanto berjanji akan langsung mencabut pencekalan setelah ada pelunasan. Ia berharap dengan tetap dimasukkannya direksi yang saat ini sudah tidak menjadi pengurus maka mereka bisa meyakinkan kepada pengurus yang baru bahwa ini adalah utang negara. "Ini piutang negara dan pihak ke-3 menahan uang negara, saudara-saudara bisa katakan uang negara kok ditahan. Ini negara bukan teman jadi harus ada prosedur," katanya. Terkait dengan penjumlahan utang atau restitusi, menurut Hadiyanto itu merupakan harapan dan keinginan dari penanggung utang. Namun menurutnya, saat ini belum ada kesepakatan betul apa tidak PPN-nya harus direstitusi. Hadiyanto mengatakan, kasus ini bukan berasal dari perjanjian perdata biasa. Kasus ini adalah piutang negara yang berdasarkan UU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan UU Pajak. Sehingga kalau berbicara masalah UU Pajak maka kedudukan hukum dari piutang negara lebih dipentingkan (preferred) dan mengalahkan kedudukan piutang-piutang lainnya. Selain itu, pemerintah dan debitur juga tidak sependapat masalah substansi dari kasus ini. "Ada mekanisme yang harus ditempuh dari penganggaran maupun implementasi dari keinginan debitur. Substansinya sendiri masih belum setuju, saya punya tagihan jeruk, mereka punya tagihan salak ya jelas berbeda. Jadi harus dipahami secara substansi kita belum sependapat, secara operasional tidak otomatis ada perjumpaan utang, harus ada mekanisme yang pemerintah sendiri terikat untuk ikuti proses yang seharusnya," katanya. Kronologis dari pencekalan itu adalah adanya piutang negara yang menjadi beban para kontraktor PKP2B disebabkan karena mereka tidak bersedia membayar DHPB atau royalti yang merupakan kewajiban pemilik kuasa penambangan kepada pemerintah. DHPB tidak dibayarkan terhitung dari 2001 sampai dengan 2007. Dasar dari tidak bersedianya para kontraktor tersebut melaksanakan kewajibannya adalah akibat diterbitkannya PP No 144 tahun 2000 tentang jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai. Dalam PP tersebut batubara digolongkan ke dalam barang tidak kena pajak, sehingga pelaku usaha tersebut selama lebih dari 5 tahun tidak mengkreditkan pajak masukan dan perusahaan tidak dapat lagi meminta pengembalian PPN atas perolehan barang kena pajak dengan cara restitusi PPN melalui Ditjen Pajak. Bahwa menurut para kontraktor, pemerintah tidak melaksanakan salah satu butir kesepakatan dalam PKP2B generasi I. Berdasarkan pendapat tersebut maka kontraktor menahan pembayaran royalti kepada pemerintah dengan alasan sebagai bentuk kompensasi reimbursement PPN. Berlandaskan pasal 1425,1426, 1427 dan 1429 KUH Perdata mengenai ketentuan perjumpaan utang piutang/kompensasi, maka menurut pengusaha cara itu dapat dilaksanakan tanpa sepengetahuan salah satu pihak. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Utang Vs Piutang Negara untuk Pengusaha Batubara
JAKARTA. Para kontraktor perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang saat ini kena cekal dirjen imigrasi sengaja tidak membayarkan royalti kepada negara karena menganggap pemerintah tidak melaksanakan salah satu butir kesepakatan dalam perjanjian PKP2B generasi I. Kronologis itu diungkapkan oleh Dirjen Kekayaan Negara Departemen Keuangan Hadiyanto. "Jadi menurut kita, debitur sebaiknya bayar dulu lunas. Bahwa mereka punya klaim kepada negara silakan diajukan tersendiri, karena bukan satu dua kali pemerintah menghormati keputusan pengadilan untuk membayar kepada pihak ketiga," kata Hadiyanto di Jakarta, Rabu (6/8). Hadiyanto menjelaskan kalau pemerintah harus membayar apa yang menjadi klaim para pengusaha tersebut, maka mekanismenya harus melalui APBN termasuk departemen mana yang mengelolanya. Pemerintah juga harus melengkapi dokumen-dokumen, bukan serta merta seperti keinginan pengusaha. Pencekalan ini baru sekarang dilakukan, karena pemerintah harus melakukan penelitian sebelum eksekusi dilaksanakan. Pemerintah melihat dan mempertimbangkan berbagai hal termasuk kepentingan penerimaan APBN yang sulit akibat penjualan properti BDL yang belum memenuhi harapan. "Kita menggali berbagai potensi yang bisa segera menghasilkan penerimaan, ternyata ada ini. Kita putuskan untuk pencegahan agar para penanggung utang dimaksud dapat menjalankan tanggungjawab utangnya kepada negara," papar Hadiyanto. Menurut Hadiyanto, beberapa direksi memang saat ini telah tidak lagi menjadi pengurus dalam perusahaan yang sama. Namun tetap dikenakan pencekalan, karena nama-nama pengurus yang dicekal berdasarkan dokumentasi yang diserahkan Departemen ESDM ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). "Kami selaku pengurus piutang melaksanakan apa yang diserahkan oleh Departemen ESDM. PUPN Jakarta sudah melakukan pengecekan baik kepada PT yang bersangkutan maupun kantor imigrasi dari nama-nama dan alamat tepatnya," katanya. Menurut Hadiyanto, pemerintah akan melihat progres perkembangan penyelesaian utang ini. Hadiyanto berjanji akan langsung mencabut pencekalan setelah ada pelunasan. Ia berharap dengan tetap dimasukkannya direksi yang saat ini sudah tidak menjadi pengurus maka mereka bisa meyakinkan kepada pengurus yang baru bahwa ini adalah utang negara. "Ini piutang negara dan pihak ke-3 menahan uang negara, saudara-saudara bisa katakan uang negara kok ditahan. Ini negara bukan teman jadi harus ada prosedur," katanya. Terkait dengan penjumlahan utang atau restitusi, menurut Hadiyanto itu merupakan harapan dan keinginan dari penanggung utang. Namun menurutnya, saat ini belum ada kesepakatan betul apa tidak PPN-nya harus direstitusi. Hadiyanto mengatakan, kasus ini bukan berasal dari perjanjian perdata biasa. Kasus ini adalah piutang negara yang berdasarkan UU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan UU Pajak. Sehingga kalau berbicara masalah UU Pajak maka kedudukan hukum dari piutang negara lebih dipentingkan (preferred) dan mengalahkan kedudukan piutang-piutang lainnya. Selain itu, pemerintah dan debitur juga tidak sependapat masalah substansi dari kasus ini. "Ada mekanisme yang harus ditempuh dari penganggaran maupun implementasi dari keinginan debitur. Substansinya sendiri masih belum setuju, saya punya tagihan jeruk, mereka punya tagihan salak ya jelas berbeda. Jadi harus dipahami secara substansi kita belum sependapat, secara operasional tidak otomatis ada perjumpaan utang, harus ada mekanisme yang pemerintah sendiri terikat untuk ikuti proses yang seharusnya," katanya. Kronologis dari pencekalan itu adalah adanya piutang negara yang menjadi beban para kontraktor PKP2B disebabkan karena mereka tidak bersedia membayar DHPB atau royalti yang merupakan kewajiban pemilik kuasa penambangan kepada pemerintah. DHPB tidak dibayarkan terhitung dari 2001 sampai dengan 2007. Dasar dari tidak bersedianya para kontraktor tersebut melaksanakan kewajibannya adalah akibat diterbitkannya PP No 144 tahun 2000 tentang jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai. Dalam PP tersebut batubara digolongkan ke dalam barang tidak kena pajak, sehingga pelaku usaha tersebut selama lebih dari 5 tahun tidak mengkreditkan pajak masukan dan perusahaan tidak dapat lagi meminta pengembalian PPN atas perolehan barang kena pajak dengan cara restitusi PPN melalui Ditjen Pajak. Bahwa menurut para kontraktor, pemerintah tidak melaksanakan salah satu butir kesepakatan dalam PKP2B generasi I. Berdasarkan pendapat tersebut maka kontraktor menahan pembayaran royalti kepada pemerintah dengan alasan sebagai bentuk kompensasi reimbursement PPN. Berlandaskan pasal 1425,1426, 1427 dan 1429 KUH Perdata mengenai ketentuan perjumpaan utang piutang/kompensasi, maka menurut pengusaha cara itu dapat dilaksanakan tanpa sepengetahuan salah satu pihak. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News