UE ada bea masuk, eksportir kakao cari pasar lain



KONTAN.CO.ID - Pengenaan bea masuk impor produk kakao oleh Uni Eropa sebesar 7,7% hingga 9,6% dinilai tidak akan terlalu banyak berpengaruh ke total ekspor produk kakao Indonesia. Apalagi, masih ada pasar ekspor lain yang lebih potensial untuk dikembangkan di negara lain.

Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang mengatakan, pengenaan bea masuk produk turunan kakao tidak hanya berlaku bagi Indonesia saja, namun juga negara lain seperti Malaysia dan Singapura. Menurutnya kebijakan itu adalah salah satu upaya Eropa melindungi negara bebas jajahannya dan negara miskin. "Indonesia bukan negara miskin," katanya, Rabu (13/9).

Zulhefi tidak menampik bila Askindo pernah meminta Pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan Uni Eropa untuk menihilkan tarif bea masuk. Aturan itu dinilai tidak adil karena produk kakao asal Afrika bebas bea masuk. "Kami dulu meneriakkan itu, tetapi kita teriakkan tidak akan ada gunanya mengingat itu sudah kebijakan mereka," jelasnya.


Oleh karena itu, eksportir produk kakao Indonesia akan mengalihkan pasar yang lebih besar yaitu Amerika Serikat. Termasuk membuka peluang pasar Eropa Timur, Cina dan India. Dia bilang, pasar bebas membuat Indonesia bisa memilih kemana produk kakao akan diekspor.

Misalnya, Eropa Barat menawarkan harga yang lebih tinggi dibandingkan Amerika, maka Indonesia akan memilih mengekspor ke Eropa Barat, dan begitu pun sebaliknya. "Ujung-ujungnya bukan impor tarif, tetapi berapa harga final dollar per ton yang diberikan oleh perusahaan yang impor di Eropa pada hari yang sama dengan berapa yang ditawarkan Amerika. Kalau tinggi yang kita kirim ke Eropa, kan membandingkan harga," jelas Zulhefli.

Data Askindo menunjukkan, hingga Juni 2017 total jumlah ekspor produk kakao sebesar 149.889 ton yang terbagi atas 11.523 ton biji kakao dan 138.365 kakao olahan. Angka ini meningkat 6% dibandingkan periode sama tahun lalu dengan volume ekspor produk kakao 142.650 ton.

Menurut Zulhefi, selain bea masuk, yang perlu diperhatikan juga adalah pengenaan bea keluar kakao. Apalagi saat ini terjadi penyusutan kebun kakao di Indonesia dari dulunya seluas 1,5 juta ha menjadi 1,1 juta ha.

Dia menuding, sejak bea keluar kakao diterapkan 2010, produksi kakao terus turun. Saat ini rata-rata produksi kakao setahun 300.000 ton. Padahal pada 2010 mencapai sekitar 600.000 ton. "Jadi tarif bea keluar untuk petani itu harus 0%," katanya.

Pemerintah menetapkan tarif bea keluar kakao 5% apabila harga kakao di pasar dunia US$ 2.000-US$ 2.750 per ton. Sementara bila harganya di atas US$ 2.750 hingga US$ 3.500 per ton dikenakan tarif 10%, dan 15% apabila harga di atas US$ 3.500 per ton. Petani baru bebas bea keluar apabila harga di bawah US$ 2.000 per ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini